Search

As emerging democracy, Indonesia is facing a formidable challenge from its Parliament whose capacity in conducting Post-Legislative Scrutiny is weak; this could prevent the country from fulfilling democratic consolidation. The country’s failure in fulfilling its democratic consolidation two decades after Soeharto’s resignation can bring it back to the authoritarian era as it has experienced only two years after the first 1955 democratic election until 1998. Applying an empirical research by directly observing PLS in the Indonesian parliament and using a qualitative method of analysis, this essay discussed the causes and repercussions of the parliament’s poor capability, which have brought the country into current setback, facing resistances from the old establishment that has made the military unable to continue reform and to change its political culture. Therefore, the Indonesian military still wants to involve in civilian affairs and businesses by making a more flexible interpretation of Military Operations Other Than War, on the one side. While, on the other, TNI’s existing culture of violence has led it to many alleged cases of gross human rights violations which could not be prosecuted until recently. In fact, Indonesian Members of Parliament’s poor capability and DPR’s weak supporting system give more complexity to the country in its struggle and success to be the third biggest democracy in the world.

Reformasi birokrasi di Indonesia yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara hingga saat ini belum memperlihatkan hasil maksimal. Maraknya kasus jual beli jabatan oleh kepala daerah menjadi salah satu indikatornya. Tulisan ini menjawab permasalahan mengapa jual beli jabatan masih terjadi padahal sudah ada KASN yang dibentuk untuk menegakkan sistem merit dalam tubuh ASN. Metode penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui studi literatur dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pemikiran model hubungan birokrasi dan politik. Tulisan ini berargumen bahwa sepanjang pejabat pembina kepegawaian masih diemban oleh pejabat politik, sepanjang itu pula ketergantungan birokrasi kepada politik sangat besar. Hal ini akan mengakibatkan permasalahan dalam netralitas politik dan menimbulkan birokrasi yang tidak profesional. Dampak negatifnya akan dirasakan oleh masyarakat sebagai penerima layanan dari para birokrat. Tulisan ini merekomendasikan agar peran pembina kepegawaian diserahkan kepada pejabat karier birokrasi melalui revisi UU ASN. KASN harus dapat memastikan bahwa setiap birokrat akan menjalankan perannya sebagai pelaksana dari setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat politik. Dengan demikian, akan dihasilkan ASN yang profesional dalam melaksanakan tugasnya, yang dapat mewujudkan tata kelola yang efektif.