Search

Ampas tebu merupakan produk samping industri gula yang potensial digunakan sebagai bahan baku pakan ikan. Akan tetapi tingginya kadar lignin (20-35%) membatasi potensi pemanfaatannya tersebut. Pengolahan ampas tebu sebagai bahan baku pakan membutuhkan tahap degradasi lignin untuk mereduksi kadarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendegradasi lignin pada ampas tebu menggunakan kombinasi radiasi gelombang mikro dan senyawa alkali NaOH. Perlakuan yang diujikan adalah larutan NaOH dengan varian konsentrasi 0,5 M; 1,0 M; 1,5 M dan 2,0 M. Tepung ampas tebu ditambahkan larutan NaOH sebanyak 1/10 (b/v) kemudian diberi paparan radiasi gelombang mikro menggunakan daya 300 watt selama 10 menit. Parameter yang diukur adalah kadar lignin menggunakan metode Chesson serta komposisi nutrien menggunakan metode proksimat, sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa NaOH 2,0 M mampu mereduksi lignin hingga 6,85%, tanpa memberi pengaruh negatif terhadap kandungan nutrien ampas tebu. Dengan demikian ampas tebu hasil perlakuan cukup memadai untuk diolah lebih lanjut dalam upaya pemanfaatannya sebagai bahan baku pakan ikan.

Material lignoselulosa merupakan bahan organik yang terdapat dalam jumlah melimpah di alam. Bahan ini terbentuk dari polimer lignin, selulosa dan hemiselulosa yang saling berikatan sehingga memiliki struktur yang sangat kompleks dan menjadi kendala utama dalam mengolah material lignoselulosa menjadi bahan baku pakan ikan. Oleh karena itu diperlukan proses pendahuluan (pretreatment) untuk mengubah struktur dan komposisi kimianya, antara lain dengan memanfaatkan radiasi gelombang mikro. Radiasi gelombang mikro mampu menghasilkan panas dari rotasi molekul dalam bahan yang bersifat polar dan memiliki sifat dielektrik yang tinggi. Molekul-molekul tersebut bergerak, saling bertumbukan, bergesekan serta menghasilkan panas yang mengurai ikatan dalam kompleks lignoselulosa. Paparan gelombang mikro akan mendegradasi lignoselulosa menjadi unit-unit penyusunnya sehingga porositas serat akan meningkat. Tulisan ini mengkaji pemanfaatan gelombang mikro dalam proses pendahuluan pada material lignoselulosa sebagai bahan baku pakan ikan air tawar. Hasil kajian menunjukkan bahwa pemanfaatan gelombang mikro dan kombinasinya dengan beberapa metode, terbukti mampu mendegradasi material lignoselulosa sehingga mengoptimalkan potensinya untuk digunakan sebagai bahan baku pakan ikan.

Salah satu bahan baku lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ikan adalah rumput laut. Rumput laut Sargassum sp. mampu tumbuh dengan cepat sehingga terdapat dalam jumlah yang melimpah, tidak beracun dan memiliki kandungan nutrien yang cukup baik. Rumput laut Sargassum sp. mengandung protein 12,92%, lemak 2,18%, abu 14,48% dan karbohidrat 50,42%. Tingginya kadar serat kasar (20,01%) menjadi kendala yang harus diatasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas rumput laut Sargassum sp. melalui fermentasi menggunakan kapang. Penelitian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan dan tiga ulangan, yaitu P0 (tepung Sargassum sp.), P1 (tepung Sargassum sp. + Aspergillus niger), P2 (tepung Sargassum sp. + Rhizopus oligosporus), P3 (tepung Sargassum sp. + Rhizopus oryzae) dan P4 (tepung Sargassum sp. + Trichoderma reesei). Inokulum yang ditambahkan masing-masing sebanyak 50 mL per 75 g tepung Sargassum sp. Inkubasi dilakukan selama tujuh hari di suhu ruang, dalam kondisi aerob. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa kapang Aspergillus niger memiliki kemampuan lebih baik dalam meningkatkan nutrien dari Sargassum sp. Kadar protein meningkat sebesar 13,58 %; sedangkan serat kasar dan abu masing-masing turun sebesar 20,55% dan 18,57%.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas beberapa bahan hewani sisa proses, berdasarkan pada kandungan nutriennya sebagai alternatif pakan ikan air tawar. Bahan yang dianalisis adalah tepung ikan rucah, tepung rebon, tepung cumi, tepung tulang, tepung daging, tepung darah, tepung teri, tepung udang, tepung sosis dan tepung telur yang semuanya merupakan bahan sisa proses. Nutrien yang dikaji adalah kadar air, protein, lemak, abu, serat kasar dan karbohidrat (by difference). Metode yang digunakan untuk pengujian kadar air, abu dan serat kasar adalah gravimetri, kadar lemak menggunakan ekstraksi soxhlet, protein menggunakan metode Kjeldahl. Pengujian untuk masing-masing nutrien dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kadar air terendah dimiliki oleh tepung daging (3,87±0,06%), kadar protein dan energi tertinggi dimiliki oleh tepung darah masing-masing sebesar 85,84±0,05% dan 51,96±5,32 Kkal/kg, BETN tertinggi dimiliki oleh tepung sosis (47,97±0,07%), kadar lemak dan serat kasar terendah masing-masing dimiliki oleh tepung tulang (0,81±0,02%) dan tepung udang (2,72±0,12%) serta kandungan abu terendah dimiliki tepung darah (2,79±0,06%).

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bahan baku lokal yang potensial digunakan sebagai bahan pakan ikan air tawar di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Metode yang digunakan adalah peninjauan langsung ke lokasi serta wawancara dengan pengambil kebijakan, pembudidaya dan pembuat pakan ikan mandiri, yang dilaksanakan pada bulan Januari – Februari 2014. Bahan baku pakan diambil sampelnya sebanyak 500g untuk dianalisis kandungan proksimatnya. Kelimpahan dan harga bahan baku pakan serta kebutuhan pakan ikan juga dihitung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan baku yang potensial di Kabupaten Agam adalah ikan mati, dedak, ikan asin BS, bungkil kelapa, daun talas, dan limbah sayuran (daun sawi, kubis, tomat). Ikan yang mati dari keramba jaring apung di Danau Maninjau sekitar 2 ton per hari dan belum dimanfaatkan. Sekitar 30 ton dedak juga tersedia di lokasi. Ikan asin BS yang sudah tidak layak dikonsumsi manusia serta sayuran yang tidak lolos sortir, dibuang begitu saja dan menimbulkan masalah lingkungan. Hal ini sangat disayangkan mengingat bahan-bahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan untuk menekan tingginya komponen biaya pakan pada kegiatan budidaya.

Upaya pengolahan bahan nabati agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ikan air tawar terus dilakukan. Keutamaan bahan nabati antara lain ketersediaan yang melimpah di alam, mudah diperoleh, serta beberapa di antaranya merupakan hasil samping atau buangan. Kekurangannya yang utama adalah tingginya kandungan fraksi serat kasar, rendahnya kandungan protein serta adanya zat anti nutrisi. Hal tersebut dapat diatasi melalui teknologi fermentasi menggunakan mikroba. Kapang jenis Trichoderma sp. banyak digunakan karena mampu meningkatkan kualitas bahan nabati terutama untuk mendegradasi serat kasar. Selain dalam bentuk tunggal, Trichoderma sp. juga dapat berperan dalam bentuk konsorsium. Tulisan ini mengupas penggunaan Trichoderma sp. dalam proses fermentasi berbagai bahan nabati, yang berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku pakan ikan air tawar.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari performa benih ikan nila yang diberi pakan buatan yang terlebih dahulu dihidrolisis menggunakan bakteri probiotik A1. Predigestion dilakukan pada bahan bakau pakan ikan menggunakan isolate bakteri A1 (perlakuan A), sebagai kontrol digunakan pakan buatan yang tidak diberi isolate bakteri A1 (perlakuan B). Pemberian pakan perlakuan dilakukan 2 kali sehari sebanyak 5% dari bobot biomassa ikan nila per akuarium per hari. Penyesuaian bobot biomassa ikan uji dilakukan dengan sampling setiap 10 hari sekali selama 30 hari. Parameter yang diuji adalah Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS), Efisiensi Pakan (EP), Konversi Pakan (KP), dan Tingkat Kelangsungan Hidup (SR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pakan yang dihidrolisis terlebih dahulu menggunakan bakteri menghasilkan rata-rata LPS sebesar 2,45 (Perlakuan A), sedangkan LPS rata-rata dari kontrol adalah 2,09. Rata-rata EP perlakuan A adalah 49,04% sedangkan kontrol sebesar 38,61%. SR dari perlakuan pakan yang dihidrolisis adalah 100% sedangkan kontrol sebesar 90%.

Rumput laut merupakan sumber daya hayati yang melimpah di perairan Indonesia dan memiliki nutrien yang cukup lengkap sehingga pemanfaatannya sangat beragam. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi nutrien dari rumput laut jenis Caulerpa lentillifera J. Agard, Palmaria palmata L dan Ulva lactuca L yang diambil di Pantai Binuangeun, Propinsi Banten; serta nilai kecernaannya pada ikan Nila (Oreochromis niloticus). Uji kecernaan dilakukan dengan pemberian pakan uji yang terdiri dari 70% pakan acuan dan 30% tepung rumput laut. Senyawa Cr2O3 digunakan sebagai marker dan ditambahkan ke dalam pakan acuan dan pakan uji masing-masing sebanyak 0,6%. Ikan uji yang digunakan memiliki bobot 15,14±0,27 g dan ditebar sebanyak 15 ekor per akuarium yang diisi air sebanyak 90L. Ikan uji diberi pakan tiga kali sehari secara satiasi dan feses diambil satu jam setelah pemberian pakan. Feses kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 60 ºC selama 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karbohidrat (BETN) merupakan komponen terbesar yang terdapat dalam rumput laut. Rumput laut U. lactuca L memiliki nilai kecernaan bahan tertinggi (67,73%), sedangkan rumput laut C. lentillifera J. memiliki nilai kecernaan protein dan lemak tertinggi, masing-masing sebesar 86,57 % dan 92,56 %. Ketiga jenis rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini dapat dicerna dengan baik oleh ikan Nila, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku pakan untuk ikan Nila.

Limbah perikanan termasuk bahan organik yang melimpah, kontinyu dan memiliki komposisi nutrien yang memungkinkan untuk menjadikannya sebagai bahan baku pakan ikan. Besarnya limbah yang merupakan buangan ini mencapai sekitar 20% dari volume total hasil perikanan dalam 1 tahun. Kandungan protein yang cukup tinggi menyebabkan bahan ini cepat rusak dan berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Teknik silase merupakan salah satu alternatif metode yang bisa diterapkan. Mudah dilakukan, sederhana dan ekonomis adalah keunggulan teknik silase. Proses silase biologi yang melibatkan mikroba bahkan sangat ramah lingkungan. Silase dari hasil samping perikanan memiliki kualitas yang cukup bagus, bahkan beberapa di antaranya memiliki komposisi nutrien yang sangat mirip dengan tepung ikan. Untuk memudahkan penyimpanan dan penanganan, silase tersebut dapat dijadikan tepung silase untuk selanjutnya dijadikan bahan campuran dalam pembuatan pakan ikan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang pemanfaatan silase dari limbah perikanan sebagai bahan pakan ikan memberikan hasil yang sangat menarik.

Ampas tebu merupakan salah satu produk samping yang dihasilkan oleh industri gula dan belum dimanfaatkan secara optimal. Ampas tebu yang dihasilkan oleh proses produksi gula mencapai 25-35% dari total berat tebu yang digunakan. Pada tahun 2017 luas areal tebu di Indonesia mencapai 453.456 Ha, dengan total produksi tebu nasional mencapai 2.465.450 ton. Ampas tebu merupakan material lignoselulosa dengan komponen utama karbohidrat (60-80%) yang terdapat dalam bentuk selulosa dan hemiselulosa yang terikat dalam matrik lignin. Komponen lain yang terkandung dalam ampas tebu adalah protein 0,8-2,4%, serat kasar 43,0-58,5%, selulosa 35,8-58,4%, lignin 9,9-22,3%, hemiselulosa 16,4-42,4%, ADF 38,3-64,9%, NDF 59,0-93,7%, lemak 0,07-1,7% serta abu 1,0-3,9%. Teknologi pengolahan diperlukan untuk mereduksi karakter lignin serta menghidrolisis selulosa sehingga kualitas ampas tebu meningkat. Tulisan ini mengkaji pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku pakan ikan air tawar. Hasil kajian menunjukkan bahwa kombinasi beberapa metode terbukti meningkatkan kualitas ampas tebu sehingga potensial digunakan sebagai bahan baku pakan ikan.

Material lignoselulosa mengandung karbohidrat yang melimpah dalam bentuk selulosa dan hemiselulosa yang terbungkus oleh lignin. Pengolahan pendahuluan pada material lignoselulosa diperlukan untuk memperoleh hasil degradasi yang optimal. Setelah dilakukan pengolahan pendahuluan untuk membuka ikatan lignoselulosa, enzim selulase digunakan untuk mendegradasi selulosa dan hemiselulosa yang terdapat pada material lignoselulosa. Proses degradasi tersebut terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama, enzim endoglukonase menyerang daerah amorf dari selulosa secara acak dan membentuk ujung non pereduksi yang memudahkan kerja eksoglukonase. Selanjutnya enzim eksoglukonase menghidrolisis bagian kristalin selulosa dengan membebaskan dua unit glukosa. Sinergi kedua enzim tersebut menghasilkan unit sakarida yang lebih kecil yang selanjutnya dihidrolisis oleh -glukosidase menjadi glukosa. Proses degradasi tersebut akan mengubah material lignoselulosa menjadi bahan baku yang mudah dicerna oleh ikan. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas pemanfaatan enzim selulase dalam proses degradasi material lignoselulosa dalam rangka pemanfaatannya sebagai bahan baku pakan ikan air tawar.

Sebagian besar bahan baku untuk pembuatan pakan ikan masih tergantung pada impor. Upaya untuk mengurangi ketergantungan tersebut adalah dengan memanfaatkan bahan baku lokal. Rumput laut jenis Ulva potensial dikembangkan sebagai alternatif bahan baku pakan ikan karena memiliki kandungan nutrien dengan komposisi asam amino, asam lemak, vitamin dan mineral yang cukup lengkap; adaptif terhadap kondisi lingkungan, mampu tumbuh dengan cepat dan tidak mengandung sianida serta asam fitat yang merupakan zat anti nutrisi. Tepung Ulva tanpa perlakuan bisa dimanfaatkan hingga 20% dalam pakan dan mampu memperbaiki kecernaan dan pemanfaatan pakan, meningkatkan pertumbuhan serta tidak memberikan dampak buruk terhadap efisiensi pakan maupun tingkat kelangsungan hidup ikan. Tepung Ulva yang diberi perlakuan fermentasi menggunakan Lactobacillus spp. dan Saccharomyces cerevisiae, bisa dimanfaatkan hingga 30% dalam pakan dan mampu meningkatkan kecernaan, pemanfaatan pakan dan pertumbuhan, tanpa mengurangi kualitas daging

Seaweed is an abundant biological resource in Indonesian waters and has complete nutrients, so its utilization is very diverse. This study aims to determine the nutrient content of four seaweeds Gracilaria sp., Palmaria sp., Sargassum sp., Ulva sp.; and evaluate the digestibility in Osteochilus hasseltii. Seaweeds were taken at Pulang Sawal coast, Special Region of Yogyakarta. The digestibility measurement is carried out by providing a test diet which consists of 70% reference diet and 30% seaweed meal. Chromium oxide was used as an inert marker and added 0.6% to both reference and test diet. The average weight of experimental fish was 11.24±0.21 g and stocked 15 fish per aquarium, which is filled with 90L of water. The results showed that carbohydrate (NFE) is the largest component in seaweed. Ulva sp. had the highest digestibility in O. hasseltii (68.13%), while Palmaria sp., Sargassum sp., and Gracilaria sp. were 66.96%, 66.04%, and 65.23%, respectively. The four seaweeds used in this study were digestible by O. hasseltii and potential be used as an alternative ingredient in O. hasseltii diet.

Sugar cane bagasse is a waste from the processing of sugar cane in a sugar factory. Bagasse is obtained about 25% of the total weight of sugar cane which is used as raw material. Nutrients contained in bagasse approximately protein 1-4%, lipidBacillus subtilis [1/1], [1/0.75], [1/0.5], [1/0.25] w/v which performed at optimum conditions, i.e. 50°C, pH 5.5 and incubation time 72 hours. The results showed that the treatment [1/1] w/v gave the best results. The improved bagasse had a protein content of 24.92%, ash 6.83%, crude fibre 11.56%, (in dry weight). Dissolved protein and reducing sugar increased to 417.60 mg/L and 442.63 mg/L, respectively. Lignin decreased to 2.81%. So the improved sugar cane bagasse was feasible to be used as a fish feed ingredient.

The evaluation of fish capacity to digest an alternative ingredient is a critical aspect. The highly digestible ingredients will improve fish growth performance and reducing the production of wastes. This experiment was conducted to determine the digestibility of improved sugar cane bagasse as an ingredient onBarbonymus schwanenfeldiidiet. The nutrient contents of improved sugar cane bagasse were crude protein, lipid, ash, crude fiber, carbohydrates (by difference) of 22.27%, 0.68%, 8.03%, 12.75%, and 55.23% (in dry weight), respectively. To measure the digestibility of improved sugar cane bagasse, a test diet in which 30% by weight of the reference diet was replaced with improved sugar cane bagasse. Chromic oxide was used as a marker and added 0.6% to both reference and test diets. Fifteen fishes with an average weight of 10.00±0.53 g were held in 110L aquaria and fed three times daily at satiation level. The digestibility of improved sugar cane bagasse onB. schwanenfeldiiwas 66.08%, protein 84.35%, lipid 95.26%, and energy 70.49%. The result showed that the nutritive value of improved sugar cane bagasse in this present study was fairly digestible byB. schwanenfeldiiand it could be an ingredient in its diet.

Green seaweed Ulva had a high growth rate and spread in all of Indonesian waters. Species Ulva had a complete nutrient content that made it potential to be used as an alternative fish feed ingredient. This experiment was conducted in two series of trial, digestibility measurement of Ulva meal and its effects on the growth performance of the Nile tilapia (O. niloticus). In measuring the nutrient digestibility, a protein rich diet was formulated with a test diet in which 30% of the reference diet was replaced with Ulva meal, used Cr2O3 as an inert marker. Fish with initial weight about 16±0.35 g were stocked with a density of 15 fish per aquarium and collecting faeces is carried out until sufficient sample was available for analysis. The growth trial was conducted using a completely randomized design with four treatments and three replications. The experimental diets were U0 (Ulva 0%), U10 (Ulva 10%), U20 (Ulva 20%) and U30 (Ulva 30%). The Nile tilapia with an average body weight of 3.42±0.01 g, were stocked into the 60x50x50 cm aquaria with 25 fish in each tank and cultured for 60 days. Fish were fed three times daily on those diets at satiation level. The parameters which evaluated were specific growth rate, protein retention, lipid retention, feed efficiency, survival rate and blood hematology of the Nile tilapia. The results of digestibility measurement showed that Ulva meal had acceptable nutrients as an ingredient in Nile tilapia diet. Protein digestibility of Ulva meal was 87.36%, while lipid was 93.05%. The results of growth trial revealed that fish fed on 10% Ulva meal tended to have highest growth performance than those fed to the control, while the survival rate and fish health seemed not to be affected directly (P>0.05).

The aim of this research was to determine the optimum percentage of glycerol addition into the diets of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) on growth performance, feed convertion ratio, and survival rate. The research was conducted using 15 aquaria with the size of 60 x 50 x 45 cm3, each containing 25 O. niloticus with average initial weight of 4.63 ± 0.15 g. The experiment was conducted using a complete random design with five treatments and three replications. Isonitrogenous (31%) and isocaloric (17 MJ.kg-1) diets were provided for 60 days of rearing period. Five diets were formulated with glycerol content of 0% (G0); 5% (G5); 10% (G10); 15% (G15), and 20% (G20). Fish were fed twice daily with experimental diet at satiation level. The result showed that addition of 10% glycerol in the diet (G10) presented the highest values for weight gain (105.85 ± 0.40%), specific growth rate (3.44 ± 0.01%), protein retention (27.75 ± 0.02%), protein efficiency ratio (2.53 ± 0.15%), lipid retention (60.44 ± 0.03%), and feed convertion ratio (1.59 ± 0.01%) (P < 0.05). Survival rate was not affected by dietary containing glycerol (P > 0.05). Therefore, addition of 10% glycerol into the diet gave a significant increase on growth performance and feed convertion ratio without adverse effect on survival rate of Nile Tilapia.

Seaweed represents an important economical resource in Indonesia. They are potentially as good source of nutrient. Furthermore, they have the most nutritious and rich in mineral than any other feedstock. The levels of minerals are ten to twenty times from total mineral content of terrestrial plants. This experiment was carried out to evaluate the nutritional value and mineral content of several seaweeds namely Caulerpa, Palmaria and Ulva, in order to utilize as fish feed ingredient. Seaweeds were collected from Binuangeun Beach, Banten and south coast of Java Island. Carbohydrate by different (NFE) and ash contents were the most two abundant components. Seaweeds Caulerpa, Palmaria and Ulva contained 44.73%, 53.74%, 55.31% NFE; and 27.36%, 22.81%, 20.51% ash based on dry weight, respectively. These contained high amounts of Na, K, Ca, and Mg ranged 0.72-5.65 g 100g−1, Fe, Mn, Cu, and Zn ranged 2.09x10−4-0.09 g 100g−1. The quantity of the bio-essential elements (Fe, Zn, Cu) followed as Fe>Zn>Cu. The iron content was rich in the sequence of Caulerpa>Palmaria>Ulva and its range was found to be 0.01-0.09 g 100 g−1 in dry weight. The result showed that Caulerpa, Palmaria and Ulva are valuable resource and potentially to be utilized as fish feed ingredient.