Search

Sumber daya manusia (SDM) adalah pusat dari semua jenis organisasi, dan visi serta tujuan mereka semua dirancang untuk membantu mereka mencapai tujuan tertentu. Di antara sumber daya lainnya, sumber daya manusia (SDM) memainkan peran yang sangat penting dan strategis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui, memberikan informasi serta menjelaskan secara empiric dan konseptual hubungan antaraPpsychological Capital dengan Work Engagement pada karyawan PT. Jakabaring Sport City. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dimana penelitian tersebut menggunakan pengambilan data di dalamnya. Teknik yang digunakan peneliti untuk mengambil data yaitu menggunakan angket berupa skala Work Engagement dan skala Psychologycal Capital. Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti mengenai hubungan antara Work Engagement dan Psychologycal Capital yang melibatkan 78 karyawan PT. Jakabaring Sport City. Hasil hitung statistik menunjukan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara Work Engagement dan Psychologycal Capital pada karyawan PT. Jakabaring Sport City. Analisis ini dilakukan menggunakan regresi sederhana. Hasil tersebut dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi R = 0,805 dengan nilai R Square = 0,648 dan P = 0,000 Nilai Korelasi (r2) antara Work Engagement dan Psychologycal Capital yaitu sebesar 0,648 atau 64,8%. Sementara itu 35,2% dipengaruhi olehvariabel lain yang tidak diteliti dalam peneliti.

Penelitian dilaksanakan untuk menyelidiki hubungan Efikasi Diri dan Dukungan Sosial dengan Self-Regulated Learning. Penelitian menggunakan sampel 139 Siswa/Siswi dari SMA Wiyata Dharma Medan. Disproportionate Stratified Random Sampling merupakan metode pengambilan sampel penelitian. Pembagian kuesioner kepada sampel merupakan teknik pengambilan data penelitian. Analisis data menggunakan analisis regresi berganda. Hasil uji hipotesis mayor menyatakan adanya hubungan Efikasi Diri dan Dukungan Sosial dengan Self-Regulated Learning dengan F = 115,581 dan p = 0,000 (p 0,05). Hasil uji hipotesis minor menyatakan adanya hubungan positif Efikasi Diri dengan Self-Regulated Learning dengan p = 0,000 (p 0,05) dan β = 0,743, serta hubungan positif tidak signifikan Dukungan Sosial dengan Self-Regulated Learning dengan p = 0,114 (p 0,05) dan β = 0,095. Model uji asumsi termasuk normalitas, multikolinearitas, autokorelasi, dan heterokedasitas. Analisis data menggunakan metode analisis regresi linear lewat perangkat lunak SPSS Statistics 25 for Windows. Hasil memperoleh 62,4% sumbangan efektif berasal dari Efikasi Diri dan Dukungan Sosial, selebihnya 37,6% berasal dari faktor pendorong lain yang tidak diselidiki.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara job stress dan perceived organizational support pada perawat di RSU Elpi Al Azis Rantauprapat. Desain penelitian menggunakan proportionate stratified random sampling dengan partisipasi 161 perawat sebagai sampel. Pengumpulan data dilakukan melalui skala, mencakup 30 butir aitem untuk job stress dan 24 butir aitem untuk perceived organizational support.Analisis data melibatkan uji asumsi, seperti uji normalitas dan uji linieritas, untuk memastikan validitas analisis. Korelasi Pearson product moment digunakan untuk menganalisis hubungan antara job stress dan perceived organizational support. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar 0.096, menunjukkan bahwa ada pengaruh antara job stress dan perceived organizational support pada perawat di RSU Elpi Al Azis Rantauprapat.Sumbangan efektif sebesar 16.1% menyoroti bahwa variabel-variabel yang diteliti hanya menjelaskan sebagian kecil variasi, sementara sebagian besar pengaruh berasal dari faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam penelitianTemuan ini memberikan dasar untuk penelitian lanjutan guna merinci faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kerja perawat secara holistik di lingkungan RSU Elpi Al Azis Rantauprapat

Body Image merupakan gambaran diri seseorang tentang bentuk dan ukuran tubuh bagaimana seseorang dapat melihat dan menghargai tentang apa yang mereka pikirkan dan mereka rasakan pada ukuran dan bentuk tubuh mereka. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui hubungan signifikan body image dengan kecemasan sosial pada remaja perempuan. Jenis metode penelitian yang digunakan yaitu metode kuantitatif dengan desain korelasional. Partisipan yang terlibat dalam penelitian yang sebanyak 199 remaja perempuan. Skala pengukuran yang digunakan berupa skala pengukuran yang digunakan body image dengan kecemasan sosial pada remaja awal. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil yang menunjukkan nilai rxy = -0,099 dengan nilai signifikansi 0,082 dengan p 0,05 yang berarti H0 diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa body image tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kecemasan sosial pada remaja perempuan.

Penelitian ini dilakukan di Universitas Prima Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara Self Regulated Learning dan Dukungan Sosial terhadap Prokrastinasi Akademik pada Mahasiswa/Mahasiswi jurusan Sistem Informasi di Universitas Prima Indonesia Medan. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah: Mahasiswa/Mahasiswi Jurusan Sistem Informasi di Universitas Prima Indonesia yang berjumlah 186 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple Random Sampling. Teknik pengumpulan data adalah dengan membagikan kuesioner kepada sampel. Analisis data menggunakan analisis regresi berganda. Hasil uji hipotesis mayor menyatakan bahwa terdapat hubungan antara Self Regulated Learning dan Dukungan Sosial terhadap Prokrastinasi Akademik dengan uji F = 64,378 dan sig. = 0.000 (p0.005). Hasil analisis hipotesis minor menunjukkan adanya hubungan antara self regulated learning terhadap prokrastinasi akademik (p = 0.000 (p0.05) dan β = 0,928) dan adanya hubungan antara dukungan sosial terhadap prokrastinasi akademik (p =0,042 (p0,05) dan β = -0,317). Uji asumsi terdiri dari uji normalitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji heterokedasitas. Data dianalisis dengan menggunakan metode regresi linear berganda melalui bantuan SPSS 20 for Windows. Hasil penelitian menunjukkan sumbangan efektif sebesar 40,7 persen yang diberikan oleh Self Regulated Learning dan Dukungan Sosial, selebihnya 59,3 persen diberikan oleh faktor lain yang tidak diteliti.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gambaran stres pada orang tua yang memiliki anak autistik spektrum disorder. Pada Penelitian ini, para peneliti menggunakan Pendekatan Kualitatif. Data diperoleh melalui metode wawancara terbuka dan observasi. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari lima orang subjek penelitian yang memiliki kriteria untuk penelitian ini. Dalam pemilihan subjek, teknik yang digunakan adalah Teknik Purposive sampling. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa para orang tua pada awalnya sulit menerima, seiring berjalannya waktu para orang tua atau subjek mulai belajar menerima keadaan anak mereka dan ikhlas serta berusaha merawat anak mereka dengan memberikan terapi baik melalui sekolah maupun secara mandiri di rumah. Anak anak di sekolahkan di SLB agar dapat membantu dalam memberikan terapi sehingga anak-anak dapat mengikuti pembelajaran.

Penelitian ini mengungkap relasi Big Five Personality dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada karyawan Gen Y di PT Z. Hipotesis mayor menunjukkan hubungan antara Big Five dan OCB, dengan lima hipotesis minor mengaitkan empat dimensi Big Five Personality - extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness - dengan OCB. Hipotesis kelima menegaskan hubungan negatif neuroticism dengan OCB, menyiratkan semakin rendah neurotisisme, semakin tinggi OCB, dan sebaliknya. Metode penelitian menggunakan purposive sampling dengan 105 karyawan PT Z. Data dari skala OCB (26 item) dan Big Five Personality (24 item) dikumpulkan dan dianalisis secara kuantitatif dengan IBM SPSS versi 25. Hasilnya, Anareg = 8.354, p = 0.00 (p 0.05), hipotesis mayor diterima.Analisis data menunjukkan hubungan positif extraversion (r = 0.243, p = 0.000), conscientiousness (r = 0.267, p = 0.037), dan openness to experience (r = 0.393, p = 0.013) dengan OCB. Namun, neuroticism menunjukkan hubungan negatif (r = 0.029, p = -0.138). Agreeableness tidak berhubungan dengan OCB (r = 0.179, p = 0.167), hipotesis ditolak. Sumbangan Big Five Personality terhadap OCB adalah 42.6%, sisanya (57.4%) dipengaruhi faktor lain. Studi ini mengkonfirmasi relasi dimensi Big Five Personality dengan OCB pada karyawan Gen Y di PT Z.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan experiental learning dengan self-perceived employability pada mahasiswa Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program MBKM merupakan salah satu program yang di gagas oleh Kemendikbud yang memberikan kesempatan kepada semua mahasiswa untuk mengasah keahlian dan kemampuannya guna mempersiapkan diri menjadi profesional dalam suatu bidang, serta memberdayakan setiap mahasiswa untuk belajar maupun praktik kerja selama 1 semester hingga 2 semester diluar pembelajaran universitasnya. Konsep utama MBKM adalah experiental learning. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan subjek 110 mahasiswa yang telah mengikuti program Merdeka Belajar Kampus Meerdeka. Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu skala Experiental Learning dan skala self-perceived employability yang telah dibuat sendiri oleh peneliti. Reliabilitas pada skala self-perceived employability sebesar 0,979 dan 0,980 untuk skala experiental learning. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan positif antara experiental learning dengan self-perceived employability pada mahasiswa MBKM di Universitas Bina Darma Palembang (r=0,903; p=0,000).

Salah satu gagasan variabel yang dihubungkan dengan cara kepercayaan diri adalah persepsi terhadap pola asuh. Motivasi penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi terhadap pola asuh dengan kepercayaan diri pada remaja di Desa Tulung Selapan Ulu. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dimana penelitian tersebut menggunakan pengambilan data di dalamnya. Teknik yang digunakan peneliti untuk mengambil data adalah dengan menggunakan angket yaitu berupa skala kepercayaan diri dengan persepsi terhadap pola asuh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti mengenai kepercayaan diri dan persepsi terhadap pola asuh yang melibatkan sebanyak 336 subjek penelitian yaitu remaja di Desa Tulung Selapan Ulu. Hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepercayaan diri dan persepsi terhadap pola asuh pada remaja di Desa Tulung Selapan Ulu. Analisis dilakukan dengan menggunakan uji regresi sederhana yang hasilnya menunjukkan adanya adanya penerimaan terhadap hipotesis yang diajukan. Hasil tersebut dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi r 0,567 dengan nilai sigifikansi (P) 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara Kepercayaan Diri dan Persepsi Terhadap Pola Asuh pada remaja di Desa Tulung Selapan Ulu.

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai efektivitas penerapan prinsip-prinsip Child-Parent Relationship Therapy (CPRT) dalam meningkatkan self-esteem anak usia sekolah. Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal (single-case design) yang melibatkan partisipan seorang anak perempuan berusia 8 tahun 5 bulan dengan masalah self-esteem yang rendah beserta ibunya. Intervensi ini memberikan ibu pengajaran untuk memperbaiki hubungan dan pola interaksinya dengan anak sehingga diharapkan dapat meningkatkan self-esteem anak. Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Porter Parental Acceptance Scale (PPAS) serta panduan observasi interaksi ibu dan anak melalui Measurement of Empathy in Adult-Child Interaction (MEACI). Adapun keberhasilan dari penerapan terapi CPRT terlihat dari perubahan skor pada skala Behavior Checklist Borba-Self Esteem Tally (B-SET) yang mengukur tingkat self-esteem anak. Hasil penelitian menunjukkan penerapan CPRT efektif meningkatkan self-esteem anak usia sekolah pada seluruh komponennya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam mengenai kenakalan remaja punk. Untuk mencapai tujuan tersebut peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan pendekatan studi kasus. Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah dua remaja putra berumur 19 tahun dan satu remaja putri berumur 19 tahun. Berdasarkan hasil penelitian, bentuk kenccckalan remaja yang dilakukan subjek pertama lebih mengarah ke tindakan kriminal seperti melakukan pemerasan, pencurian, menjadi bandar obat penenang dan kurir narkoba, keluar masuk penjara terkait kasus penganiayaan berat dan kepemilikan obat penenang secara ilegal, kekerasan seksual, dan bahkan melakukan pembunuhan. Sedangkan subjek kedua hanya melakukan kenakalan biasa yang tidak sampai mengarah ke tindakan kriminal. Faktor penyebab kenakalan remaja punk yang dilakukan kedua subjek karena pengaruh dari lingkungan sosial, lingkungan keluarga yang tidak harmonis, musik punk yang mereka dengar, dan ada dorongan dari dalam diri subjek untuk melakukan kenakalan-kenakalan yang selama ini menjadi masalah bagi kedua subjek.

Dengan berbagai perubahan dan pengalaman baru yang terjadi pada tahap remaja, perkembangan moral remaja menjadi salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan. Penalaran moral adalah kemampuan individu untuk berpikir berdasarkan pertimbangan dan penilaian moral akan situasi yang dihadapi. Penalaran moral sebagai salah satu aspek perkembangan moral dipercaya dapat menjadi penghambat munculnya kenakalan pada remaja, termasuk mencuri. Moral Reasoning Development Intervention (MRDI) merupakan salah satu intervensi yang terbukti dapat meningkatkan penalaran moral individu pada pasien dari usia remaja hingga dewasa. Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai pengaruh dari pemberian MRDI dengan adaptasi yang sudah dilakukan terhadap peningkatan penalaran moral remaja dengan riwayat mencuri. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus, dengan partisipan seorang remaja perempuan yang memiliki riwayat mencuri dan perkembangan penalaran moral yang belum matang. Partisipan akan diberikan MRDI dan perubahan yang muncul akan diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan penalaran moral secara kuantitatif dan kualitatif pada sesi follow-up, 1 bulan setelah sesi berakhir, tetapi tidak muncul pada sesi post-test. MRDI dapat meningkatkan penalaran moral remaja dengan riwayat mencuri secara jangka panjang dengan bantuan dari diskusi teman sebaya dan pengalaman menghadapi dilema moral secara nyata.

Warga Binaan Pemasyarakatan merupakan individu yang telah mendapat putusan bersalah dari pengadilan sehingga mengakibatkan orang tersebut harus kehilangan kemerdekaan bergerak untuk menjalankan masa pidana di lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan Negara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran Kesepian WBP Pada Awal Masa Pidana di Lapas Kelas 1 Semarang. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu jenis penelitian kualitatif. Partisipan dalam penelitian ini adalah dua warga binaan pemasyarakatan pada awal menjalani masa pidana di Lapas kelas 1 Semarang. Data penelitian ini diperoleh dengan teknik wawancara dan observasi. Hasil penelitian ini meliputi tiga tema utama yaitu rasa khawatir,tema kedua ketakutan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan yang ketiga kehilangan motivasi.

Di era globalisasi ini tingkat persaingan dalam memilih pekerjaan sangatlah ketat. Faktor pendorong penting yang menyebabkan manusia bekerja ialah memenuhi kebutuhan pokok kehidupan sehari-hari. Bekerja juga dapat digunakan sebagai penguat identitas diri, salah satu yang pekerjaan yang diminati pada saat ini ialah bekerja di perusahaan BUMN. Penelitian ini bertujuan untuk lebih memahami penerimaan diri karyawan yang gagal pada tahap wawancara akhir di perusahaan BUMN. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan prosedur pengambilan sampel yang dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Subyek penelitian ini berjumlah lima orang dengan karakteristik yang tidak lulus ujian tahap akhir wawancara di perusahaan BUMN. Proses pengumpulan data dalam penelitian ini berdasarkan sumber data primer dengan menggunakan teknik wawancara yang mendalam (in depth interview). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada berbagai jenis reaksi kegagalan yang dialami oleh subyek ketika mengikuti tes BUMN tahap akhir wawancara, seperti rasa kecewa pada diri sendiri, mood swing, bad mood, dan lain-lain. Penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan waktu proses penerimaan diri pada setiap subyek penelitian.

Stress akademik merupakan kondisi dimana adanya tekanan-tekanan psikologis yang dirasakan oleh siswa dalam proses pembelajaran. Stres akademik dapat mempengaruhi kondisi psikologis, fisik siswa yang pada akhirnya juga dapat mempengaruhi kinerja dan hasil akademik siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara spiritual well-being dengan academic stress pada remaja. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif survei. Sampel penelitian ini berjumlah 120 orang siswa/i atau remaja yang terdiri dari 46 laki-laki dan 74 perempuan. Metode pengumpulan data menggunakan 2 alat ukur yakni Spiritual Well-Being Scale (SWBS) dengan 6 skala Likert dan Educational Stress Scale for Adolescents (ESSA) dengan 5 skala Likert. Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji korelasional Spearman. Hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat hubungan negatif signifikan antara spiritual well-being dan academic stress pada remaja. Selain itu penelitian ini juga menemukan terdapat perbedaan tingkat spiritual well-being dan academic stress ditinjau dari jenis kelamin.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penyesuaian pasca perceraian pada wanita yang bekerja. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, subjek penelitian adalah wanita yang sudah bercerai dan masih bekerja. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara. Terdapat 6 dimensi post-divorce adjustment yaitu self-worth, disentanglement from relationship, anger, grief, social trust, serta social self-worth.

Sistem layanan kesehatan yang holistik, mencakup aspek promosi, pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi, merupakan inti dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Program ini bertujuan untuk mencapai kepesertaan menyeluruh dalam lima tahun, memastikan setiap individu terlindungi dalam asuransi kesehatan sosial nasional. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah lembaga utama dalam program ini, bertugas meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang komprehensif, bermutu, dan merata. Sistem rujukan pasien merupakan elemen penting dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien. Namun, dalam implementasinya, terdapat sejumlah permasalahan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Metode penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data yang lebih komprehensif, valid, reliabel dan objektif. Penelitian ini bersifat deskriptif observasional. Penelitian ini dilakukan di Ruang Administrasi Puskesmas Batanghari dan dilaksanakan pada bulan Maret 2024, Tujuan penelitian ini adalah menganalisis masalah penerapan rujukan berjenjang pasien peserta BPJS Kesehatan di Puskesmas Batanghari berdasarkan ketersediaan sarana dan obat. Masalah yang diidentifikasi meliputi perbedaan interpretasi indikasi merujuk antara dokter di FKTP dan FKRTL, kurangnya sinkronisasi antara FKTP dan FKRTL, serta keinginan pasien untuk dirujuk ke rumah sakit tanpa biaya tambahan karena sudah termasuk dalam iuran JKN dan karena kebiasaan mendapatkan perawatan dari dokter spesialis tertentu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengenali ada atau tidaknya korelasi di antara tingkat kebahagiaan yang dialami pekerja Gen Z dengan tingkat kepuasan kerja mereka, dan jika ada, untuk menentukan sejauh mana hubungan tersebut. Tujuannya studi berikut ialah untuk mengenali terdapat ataupun tidak korelasi diantara tingkat kebahagiaan seseorang dengan besarnya kepuasan kerja yang dialaminya selama bekerja. Masing-masing individu yang mengikuti studi ini adalah pekerja di Galeri Ulos Sianipar di Medan. Jumlah total peserta ialah 89 orang. Dalam penyelidikan ini, metode kuantitatif dipakai, dan kuesioner yang berkaitan dengan kebahagiaan dan kepuasan kerja dipakai untuk mengumpulkan data yang diperoleh. Untuk melakukan perhitungan, uji analisis prasyarat yang meliputi uji normalitas dan linearitas, serta analisis data memakai korelasi Pearson product moment dipakai pada SPSS Statistics 26 for Windows. Koefisien korelasi berjumlah 0,373 dan tingkat signifikansi 0,000 (p 0,05) ditemukan mengindikasikan yakni ditemukan korelasi positif di antara kebahagiaan dan kepuasan kerja, berlandaskan temuan investigasi data yang memakai uji korelasi Product Moment. Berlandaskan koefisien determinasi (R2), kita dapat mengamati bahwa 13,9% faktor-faktor yang berkonstribusi dalam ruang lingkup studi ini dan 86,1% lainnya dipengaruhi oleh faktor yang tidak ada diteliti dalam penelitian ini.

Machiavellianisme, psikopati dan narsisme atau yang biasa dikenal dengan kepribadian gelap diketahui dapat memprediksi perilaku menyimpang. Mengingat peningkatan prevalensi penggunaan media sosial dan internet, serta pengetahuan yang berkembang terkait konsekuensi negatif dari penggunaannya, maka penting adanya pemahaman bagaimana karakteristik kepribadian ini dengan perilaku online. Tujuan analisis literature ini adalah untuk melihat hubungan antara karakteristik kepribadian gelap dengan perilaku antisosial yang terjadi di internet, dengan cara melakukan peninjauan pada 15 jurnal yang terbit dalam kurun waktu 7 tahun terakhir. Berdasarkan analisis pada 15 jurnal terkait, ditemukan bahwasannya tiga ciri kepribadian gelap (machiavellianisme, psikopati dan narsisme) berhubungan dengan antisosial di internet, di mana psikopati merupakan ciri kepribadian yang paling kuat memprediksi perilaku antisosial di internet (cyber aggression, cyber trolling, cyberbullying, penggunaan sosial media yang bermasalah, dan lain sebagainya).

Perubahan fisik yang dialami remaja ternyata membawa dampak yang besar dalam kehidupan remaja. Adanya ketidaksesuaian antara kondisi fisik individu dengan konsep tubuh ideal, berpotensi mendorong remaja melakukan berbagai cara untuk mencapai tubuh ideal. Akan tetapi, tidak sedikit di antaranya melakukan upaya mendapatkan gambaran tubuh ideal dengan cara yang terbilang ekstrem dan salah satunya dapat memicu kemunculan gangguan makan. Gangguan makan merupakan salah satu bentuk gangguan jiwa berupa gangguan pada perilaku makan, pikiran, emosi, dan sikap, hal ini berdampak pada gangguan fisiologis. Gangguan makan juga berpengaruh pada pola hubungan sosial dalam kehidupan remaja. Pengkajian ini bertujuan untuk mengkaji faktor kontributor gangguan makan pada remaja. Penelitian dilakukan dengan metode kajian literatur memanfaatkan laman Google Scholar dan ScienceDirect dengan rentang periode tahun penelitian 2013 hingga 2022. Individu yang menjadi subjek dalam pengkajian ini merupakan remaja dengan kisaran usia 12-21 tahun. Berdasarkan 11 artikel jurnal terpilih didapatkan faktor kontributor gangguan makan pada remaja yakni citra tubuh, kecenderungan gangguan jiwa, citra tubuh, kepercayaan diri, teman sebaya, body shaming, perilaku media sosial, self-dissatisfaction, family environment, stressful event outside the family, dan internalisasi sosiokultural.

Beberapa penelitian di Indonesia telah mencoba mengukur kepedulian lingkungan berupa pengurangan penggunaan plastik sekali pakai. Namun belum ada alat ukur yang divalidasi dalam bahasa Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengadaptasi alat ukur single-use plastic reduction berdasarkan theory of planned behavior. Forward translation serta expert judgment dilakukan dengan melibatkan tim peneliti serta tim ahli dari lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang pengelolaan sampah plastik. Terdapat 295 partisipan dari anggota lembaga swadaya masyarakat dengan random sampling. Alat ukur single-use plastic reduction berdasarkan theory of planned behavior memiliki konsistensi internal yang baik serta hasil confirmatory factor analysis yang acceptable fit dengan data. Uji structural equation modelling menunjukkan bahwa dimensi attitude, perceived behavioral control, social pressure memprediksi single-use plastic reducing behavioral intention. Hasil ini menunjukkan alat ukur single-use plastic reduction yang diadaptasi dalam bahasa Indonesia reliabel dan valid

Generasi alpha adalah generasi yang lahir dan tumbuh dengan kemajuan teknologi digital. Perkembangan teknologi digital merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan kehidupan generasi alpha. Berdasarkan perspektif psikologi perkembangan ada tiga aspek perkembangan yakni perkembangan fisik, perkembangan kognitif dan perkembangan sosio-emosional. Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan metode literature review. Berdasarkan 10 jurnal yang telah dianalisa ditemukan berbagai dampak pada anak di ketiga aspek perkembangan tersebut. Hal ini dapat berpengaruh kepada kehidupan generasi alpha. Solusi bagi orang tua dalam menghadapi perkembangan generasi alpha adalah dengan menerapkan pola asuh literasi digital.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara persepsi tentang harapan orang tua dengan kematangan karir pada siswa kelas XII SMA Negeri 3 Unggulan Kayuagung. Kematangan karir adalah suatu proses individu dalam memilih keputusan karir yang sesuai dengan bakat dan minatnya dengan menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya. Harapan orang tua merupakan suatu keinginan yang muncul berdasarkan pandangan-pandangan yang dimiliki orang tua kemudian disampaikan kepada anak-anaknya baik dalam pendidikan dan pekerjaan. Sampel pada penelitian ini berjumlah 123 partisipan siswa kelas XII dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dengan menggunakan skala Perception of Parental Expectations Inventory (PPE) dan skala Career Development Inventory (CDI). Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif yang bersifat korelasi. Analisis data menunjukkan adanya hubungan antara persepsi tentang harapan orang tua dengan kematangan karir pada siswa kelas XII SMA Negeri 3 Unggulan Kayuagung. Dilihat dari hasil korelasi Pearson Product Moment yang didapat dari nilai r yakni 0,603 dengan nilai signifikansi 0,000 (p 0,005). Maka berdasarkan data tersebut hipotesis yang diajukan dinyatakan diterima.

Etos kerja yang diterapkan dalam budaya kerja suku Batak telah berkembang menjadi nilai-nilai kerja yang dipegang teguh, terutama dalam mewujudkan etos kerja yang positif. Prinsip-prinsip ini merupakan bagian integral dari budaya suku Batak Toba, dan dampaknya terlihat dalam perilaku Organizational Citizenship Behavior (OCB) karyawan Batak Toba. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara nilai-nilai kerja (work value) dan OCB pada karyawan etnis Batak Toba yang bekerja di PTPN III di Kota Medan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai korelasi Pearson yang diperoleh adalah 0.614, dengan nilai signifikansi (p-value) sebesar 0.000 (p0.05). Temuan ini menggambarkan adanya korelasi yang sangat signifikan, menunjukkan hubungan yang kuat dan bermakna antara variabel-variabel tersebut. Selain itu, penelitian ini mencatat bahwa nilai koefisien determinasi untuk variabel work value terhadap OCB adalah sebesar 0.377, menunjukkan kontribusi sebesar 37.7% dari work value terhadap OCB.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana emosi dan proses pengaturan emosi pada perempuan yang memutuskan menikah di usia remaja, subjek dalam penelitian ini berjumlah lima orang, dengan karakteristik perempuan yang menikah pada usia remaja dengan rentang usia 15-18 tahun, domisili di Deli Serdang, Sumatera Utara. Pendekatan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa kasus yang memutuskan subjek memilih menikah di usia muda dan menurut hasil penelitian kelima subjek mengalami emosi seperti menangis, kesal, marah, kecewa, dan kesal. Hasil penelitian juga diperoleh dari reaksi emosi yang bersangkutan, kelima subjek berusaha untuk melepaskan emosinya dan sebagainya dengan cara melakukan beberapa aktivitas untuk menurunkan emosinya dengan baik. Selain itu ada yang bercerita dengan orang yang dipercaya kemungkinan besar bersama anaknya/tetangga/keluarga lain, libatkan juga siapa saja yang melakukan beberapa hal untuk mengalihkan perhatian dengan melakukan kesibukan dengan cara salah satunya dengan berbelanja dan bermain media sosial.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan self-compassion antara mahasiswa bersuku jawa dan bersuku batak. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode kuantitatif dengan pendekatan komparasi. Populasi dalam penelitian adalah mahasiswa sebanyak 272 mahasiswa. Sedangkan teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu purposive sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 220 mahasiswa yang terdiri dari yang bersuku jawa dan bersuku batak. Teknik analisis data yang digunakan ntuk uji hipotesis ialah teknik Independen sample t-test. Berdasarkan hasil uji independent sample t test diatas dapat diketahui bahwa nilai signifikansi variabel self-compassion sebesar 0,009 0,05. Hal tersebut menjelaskan bahwa terdapat perbedaan self-compassion pada mahasiswa berdasarkan suku budaya. Terdapat perbedaan self-compassion pada mahasiswa yang bersuku jawa dan batak, dilihat dari perbedaan nilai mean yang mana mean self-compassion pada mahasiswa jawa lebih besar dari pada mean self-compassion pada mahasiswa yang bersuku batak, yaitu self-compassion mahasiswa suku jawa memiliki nilai rata-rata sebesar 110.98, sedangkan self-compassion mahasiswa suku batak memiliki nilai sebesar 101.39.

Penelitian ini bertujuan untuk mengatasi pikiran dan perilaku kompulsi pada laki-laki dengan obsessive compulsive disorder (OCD) dengan pendekatan Brief-Cognitive Behavior Therapy (CBT). Metode penelitian menggunakan pendekatan studi kasus. Asesmen menggunakan observasi, wawancara, tes grafis untuk menggali data terkait subjek dan OCI-R untuk mengukur indikasi OCD. Penelitian dilakukan single case. Diagnosis subjek merupakan OCD dengan pikiran kecemasan berlebihan kehilangan dan melupakan sesuatu dan perilaku kompulsi memeriksa barang berkali-kali. Hasil penelitian menunjukkan berkurangnya perilaku memeriksa barang setelah diberikan Brief-CBT. Skor OCI-R subjek yang awalnya 32 berkurang menjadi 29.

Penerimaan diri adalah sikap positif seseorang untuk menerima berbagai aspek yang ada pada dirinya, baik itu aspek positif maupun negatif, serta memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Bagi penyintas COVID-19, tentu sulit untuk menerima kondisi dimana wabah virus corona melumpuhkan dunia dan stigma bagi orang-orang yang terkonfirmasi positif corona. Penerimaan diri merupakan penyangga terhadap pengalaman negatif yang dialami oleh seseorang karena penerimaan diri merupakan toleransi individu atas peristiwa-peristiwa yang menyakitkan sejalan dengan menyadari kekuatan-kekuatan pribadinya. Religiusitas merupakan penghayatan keagamaan dan kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa, dan membaca kitab suci. Dukungan sosial adalah interaksi interpersonal yang mengandung perhatian secara emosional dan penilaian diri terhadap lingkungan sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari religiusitas dan dukungan sosial terhadap penerimaan diri pada penyintas COVID-19. Subjek penelitian ini berjumlah 67 orang yang pernah terkonfirmasi positif corona. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan adanya korelasi antara religiusitas terhadap penerimaan diri pada penyintas COVID-19, dan adanya korelasi antara dukungan sosial terhadap penerimaan diri pada penyintas COVID-19. Alat ukur yang digunakan adalah skala tingkat Religiusitas yang diambil berdasarkan dimensi religiustias menurut Glock dan Stark. Skala dukungan sosial berdasarkan bentuk dukungan sosial oleh Sarafino. Skala penerimaan diri berdasarkan faktor penerimaan diri oleh Hurlock.

Obesitas adalah suatu kondisi dimana seorang individu mengalami penumpukan lemak tubuh berlebihan melebihi batas normal untuk berat dan tinggi badan yang diukur melalui indeks massa tubuh (IMT). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan asupan karbohidrat antara remaja obesitas dan non obesitas. Tinjauan literatur dilakukan dengan cara mencari, merangkum, dan menarik kesimpulan dari beberapa studi ilmiah yang valid dan akurat dari database pencarian seperti Google Scholar dan Portal Garuda. Literatur yang dicari dibatasi dari tahun 2015 sampai tahun 2024 dengan kata kunci “Asupan Karbohidrat”, “Remaja”, “Obesitas”, “Non Obesitas” baik dalam Bahasa indonesia maupun Bahasa inggris. Literatur dianalisis dengan menggunakan tabel matriks. Asupan karbohidrat lebih bayak dikonsumsi pada remaja obesitas dibandingkan dengan remaja non obesitas. Jenis karbohidrat sederhana menjadi penyumbang terbesar kejadian obesitas pada remaja dengan rata-rata kebiasaan makan seperti konsumsi makanan cepat saji, jajanan tinggi kalori dan gula, serta minuman soda dengan frekuensi berlebih.

Pandemi Covid-19 memberikan banyak sekali dampak dalam berbagai bidang kehidupan, salah satunya adalah dalam bidang pendidikan. Begitupun dalam bidang pendidikan jasmani yang mengharuskan anak berinteraksi dan bekerja sama secara langsung dengan orang lain. Perubahan sisrem pendidikan dari jarak jauh menjadi tatap muka berpotensi terhadap perubahan perilaku sosial dan emosional utamanya bagi anak sekolah dasar. Oleh karena itu, melakukan deteksi dini terhadap gangguang kesehatan mental dan perilaku sosial sangat penting untuk dilakukan supaya bisa dicegah dan ditindak lanjuti sesuai dengan rekomendasi dari para ahli. Untuk bisa mendeteksi hal tersebut, digunakkanlah suatu alat ukur bernama Strenght and Difficulties Questionnaire Instrument (SDQ) untuk anak usia 4-17 tahun. Instrumen ini memiliki 2 kategori yakni untuk anak-anak usia 4-11 dan untuk usia 11-17. Dalam instrument ini, terdapat 5 aspek yang bisa diukur, yakni; gejala emosional, masalah perilaku, masalah hiperaktivitas, masalah teman sebaya dan masalah propososial yang masing-masing memiliki lima pernyataan. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional yang dilakukan di SDN Ciparay 01 06 dengan jumlah siswa yang mengisi kuesioner berjumlah 70 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keseluruhan siswa di SD tersebut berada dalam kriteria abnormal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa siswa laki-laki memiliki perilaku sosial dan emosional yang abnormal dibandingkan siswa perempuan.

Regulasi emosi merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia. Mengontrol dan mengolah emosi negatif menjadi emosi positif akan memberikan banyak keuntungan bagi diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, setiap orang perlu meregulasi emosinya, termasuk seorang shadow teacher. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses regulasi emosi yang dialami oleh shadow teacher dalam menangani anak autis. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, dengan ciri-ciri perempuan yang bekerja sebagai guru bayangan di TK Maitreyawira Deli Serdang dengan rentang usia 23-26 tahun. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek penelitian mengalami emosi seperti sedih, kesal, dan marah. kemudian meregulasi emosi dengan melakukan berbagai aktivitas seperti keluar dari kelas untuk menenangkan diri, mendiamkan anak autis yang ditanganinya, serta menangis di hadapan anak autis tersebut.

Hambatan kognitif pada siswa tunagrahita ringan salah satunya adalah kemampuan berhitung dan upaya meningkatannya dengan media congklak.. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media congklak terhadap peningkatan kemampuan berhitung pada siswa tunagrahita ringan di Sekolah Khusus Pelita Bunda Samarinda. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Pre-ekperimental dengan onegroup pretest-posttest design. Pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Desain ekperimental dengan onegroup pretest-posttest design. Pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, dengan jumlah sampel sebanyak lima siswa tunagrahita ringan. Metode pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan alat ukur berupa soal matematika kemampuan berhitung dengan cara penilaian menggunakan skala likert. Teknik analisis data menggunakan paired sample-test dengan bantuan program SPSS versi 23,00 for windows. Berdasarkan analisa data, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh media congklak yang signifikan terhadap kemampuan behitung di Sekolah Khusus Pelita Bunda Samarinda.

Introduction: The COVID-19 pandemic, present in Indonesia for 17 months, has significantly impacted mental health, especially in individuals with obsessive-compulsive disorder (OCD). Studies in Europe reported a 17.9% to 60.3% increase in OCD symptom severity. Notably, no research in Indonesia has explored the pandemic’s effects on OCD patients. Lockdown measures in Indonesia may exacerbate symptoms, but some OCD patients benefit, finding relief from societal stigmatization and the opportunity to advise others on infection prevention. This review aims to examine the impact of the COVID-19 pandemic on OCD patients in Indonesia and discuss potential management strategies. Methods: We conducted a comprehensive literature search, identifying studies, articles, and reports relevant to the effects of the COVID-19 pandemic on OCD patients in Indonesia. These sources were critically evaluated to provide a comprehensive overview. Results: This review reveals that the pandemic poses unique challenges to OCD patients in Indonesia. Lockdown measures may worsen symptoms, although some patients find relief from societal stigmatization. OCD patients can play a valuable role in advising others on infection prevention. Telemedicine, especially CBT, and medication adherence tools are crucial for effective management. Conclusion: The COVID-19 pandemic affects OCD patients in Indonesia in various ways. It is essential to recognize how lockdown measures impact symptom severity and the opportunities for patients to contribute positively to society. Telemedicine and medication adherence tools are valuable for managing OCD during the pandemic. Addressing the needs of OCD patients and implementing effective strategies for their care during COVID-19 is essential in Indonesia.

Introductions: Many studies have shown in the field of psychiatry results in specific changes in brain anatomy and function associated with measurable clinical outcomes. One of the biggest difficulties in diagnosing and treating psychiatric disorders is that human behavior involves complex mechanisms when compared to experimental animals. Case: 25-year-old female, diagnosed with Major Depressive Disorder (MDD) 6 months ago at a General Hospital in Malang, Indonesia. The patient felt depressed, had trouble sleeping, and had attempted suicide. MRI of the hippocampus was performed at the power of 3 Tesla magnetic strength (PHILIPS INGENIA 3.0T). MRI data processing and hippocampal volumetric analysis were performed using the volBrain HIPS software. Discussion: The left hippocampus volume was larger than the right volume, with a history of the patient never doing exercise or exercising regularly. In general, the hippocampus can be asymmetrical on both sides and larger on the right side. Although asymmetry in the hippocampus is normal, but there are no studies that say the volume of the left hippocampus is larger than the volume of the right hippocampus in a normal people. Conclusions: a person with depression should be screened and planned for early treatment. In the field of radiology, psychoradiology plays an important role in the main clinical situation in guiding decisions, especially treatment planning, as well as monitoring the results of care carried out in patients with psychiatric disorders.

Introductions: WHO states that the suicide rate in the world is still high; most of them had a previous depressive episode. In depressed patients with psychotic symptoms, psychomotor disturbances were more severe, feelings of guilt were higher, and there was an increase in suicidal ideation and attempts. Several studies have tried to find out whether there is an influence between psychotic symptoms and the incidence of suicide in patients with depressive disorders. However, the number of available studies is still limited and controversial. The purpose of this study was to determine the effect of psychotic symptoms on the incidence of suicide in patients with major depressive disorders. Methods: This is an observational analysis with a case-control approach. The sample was obtained from the Udayana Psychiatric Resident Duty Report in 2019 in a purposeful manner that already met the inclusion and exclusion criteria. Test the hypothesis using chi-square and logistic regression. Results: A total of 70 samples were used in this study. Chi-squared showed there was a relationship between psychotic symptoms and the incidence of suicide in patients with major depression (p = 0.016). Logistic regression showed that a history of drinking alcohol (OR 55.058; CI 2.975-1018.8; p = 0.007) and psychotic symptoms (OR 9.237; CI 1.86-45.875; p = 0.007) were shown to affect the incidence of suicide in patients with major depressive disorders. Conclusion: There is an effect of psychotic symptoms on the incidence of depression in patients with major depressive disorders.

Introductions: Based on a 2015 United Nations Children’s Fund (UNICEF) report, violence against children is widespread in Indonesia; 40% of 13–15-year-old children reported being physically assaulted at least once a year, 26% reported being physically abused by a parent or caregiver, and 50% reported being bullied at school. Case: A 23-year-old female patient, Hindu, Balinese, unmarried, and unemployed, came alone to the psychiatric polyclinic of Wangaya Hospital. From history taking, there was dizziness, anhedonia, impaired attention, reduced self-esteem and confidence, guilt and uselessness, reference ideas, somatic delusions, relationship mood, logorrhea and flight of ideas, a history of mixed-type insomnia, and excessive energy. In a general examination, there were icteric sclera and palpable enlargement of the spleen (Schuffner 4). Neurological examination within normal limits. Discussion: The patient has bipolar disorder, caused by a traumatic experience in childhood. The patient was found to have a history of repeated treatment; she was initially diagnosed with bipolar disorder and received Depakote 250 mg and Clobazam 10 mg. Then, the patient came for treatment again at Wangaya Hospital on August 30, 2021, because of a headache and was diagnosed with bipolar affective disorder, with the current episode being moderately depressive with somatic symptoms. Conclusion: Traumatic childhood events are a risk factor for bipolar disorder. In addition to poor clinical presentation, the early onset of bipolar disorder is also an aggravating factor for symptom recurrence. Polycythemia vera can be a complicating factor in the recovery and relapse of bipolar disorder.

Introductions: Graves’ disease is the most common cause of hyperthyroidism. Neuropsychiatric manifestations may occur in thyroid disease. As the premier clinical manifestation of Graves disease, psychosis is highly uncommon; it was reported in 1% of cases. The major neuropsychiatric manifestations of hyperthyroidism are acute psychosis, dementia, apathy, agitation, mania, delusional behavior, and hallucinations, especially in older people. Psychosis is highly rare as the first clinical symptom of a grave disease. Case: A 48-year-old female with grave disease symptoms had been taken to the emergency department with psychotic manifestations. She had a three-month history of increasing irritability, increasing irrational talking, staying awake most of the night, muttering, night-time wandering, and poor personal hygiene. She was admitted to the hospital, and the laboratory investigations showed an elevated FT4 and a decreased thyroid-stimulating hormone (TSH). The patient was started on propanolol 3 x 10 mg, propylthiouracil 3 x 50 mg tab, risperidone 2x2mg, trihexylphenidil 2x2mg, lorazepam 1x2mg, and Zyprexa injection once, which showed improvement in psychotic symptoms. Conclusion: Graves’ disease can present with neuropsychiatric manifestations such as psychosis, mania, or a combination of both. A detailed medical history and physical and psychiatric evaluation are necessary for diagnosing and giving adequate treatment. A detailed clinical evaluation, including thyroid function tests, could be recommended for all patients who showed psychotic symptoms. More research is needed to comprehend the pathophysiology underlying psychosis due to Graves’ disease, so that it is expected that the management can be carried out properly.

Introductions: Systemic lupus erythematosus (SLE) is one of the diseases that affects the system organs. Neuropsychiatric SLE (NPSLE) refers to the display of SLE involving both neurologic and psychiatric conditions. Methods: This retrospective study used inpatient and outpatient data from patients diagnosed with unspecified SLE and also included psychiatric manifestations between 2017 and 2021. Results: The patients’ age range was from under 10 to over 70 years old, and the average age was 31.49 years old. The highest percentage was between 31 and 40 years old, which was 27%. Out of 100 patients, 61 received the majority of their care from the internist. The highest percentage of psychiatric disorders was unspecified depressive disorder, with 17%. The second-largest proportion was other specified neurotic disorders, which was 11%. Additionally, 10% of the patients experienced a mild cognitive illness. Based on gender, women had a higher proportion compared to men. Conclusions: Our study showed that there were 100 NPSLE cases over five years, and the highest percentages were depressive disorder, neurotic symptoms, and mild cognitive disorder.

Introductions: Psychosis is a condition of severe mental disorder characterised by the presence of disability in assessing reality. Schizophrenia is the most common psychotic disorder. It is also associated with long-term disability. ACT is one of the newest psychological interventions for psychotic patients. This paper aims to describe ACT as the newest psychotherapy intervention and its advantages for psychotic patients. Review: The management of psychosis is a combination of the use of antipsychotics, psychotherapy, and psychosocial therapy. ACT is one of the newest psychological interventions for psychotic patients that aims to increase the patient’s psychological flexibility through six core processes of therapy: acceptance, cognitive defusion, being present, self as context, value, and committed action. ACT does not target symptom reduction. Therapists help patients recognise and reduce unnecessary struggles with psychological content so that patients can develop an accepting attitude and be able to move towards the values they hold. Conclusions: The use of third-wave behavioural therapy based on mindfulness and acceptance showed good results in patients with psychotic disorders. ACT aims to help individuals accept things that are beyond their control and commit to actions that can improve their lives. Research on the clinical adaptation of ACT for psychosis has shown good initial results in reducing distress due to psychotic symptoms, better regulation of emotions, and reducing relapsing rates.

Introduction: Medical students have higher psychological pressure compared to students from other majors. Excessive levels of stress can cause physical and mental problems, lower self-esteem, and interfere with academic achievement. Stress has a significant correlation with academic grades. Objective: This study aims to determine the relationship between stress levels and academic scores Methods: This research is an observational analytic study with a cross-sectional design to analyze the relationship between perceived stress scale and academic scores. Perceived Stress Scale were used to determine stress level and spearman correlation were used to correlate stress level with GPA Results: No variable with a Spearman correlation coefficient above 0.2 was found, so it can be seen that none of the variables has a correlation with GPA. But income per capita has a significant p-value. Discussion: The stress level score with the GPA score has a Spearman correlation of -0.089. The correlation shows an insignificant relationship. This shows that the level of stress shown through the Perceived Stress Scale does not have a significant effect on the academic scores of Airlangga University medical students. Sohail's research (2013) found similar results where most students with stress still passed the exam but there were a small number of students with severe stress who failed. This is different from the results of Kumar et al. (2014) who found that stress levels have a negative effect on academic performance. Conclusion: In this study, no correlation was found between stress levels and academic scores.

Introductions: Urinary incontinence is a side effect of several antidepressants, especially those in the SSRI and SNRI groups. Sertraline, a popular SSRI effective against a wide range of mental disorders, is one such drug with a clear association with a new onset of UI. Case: A 20-year-old Indonesian Chinese woman, presenting with mixed anxiety and depressive symptoms, was initially treated with sertraline 50 mg. She experienced an acute onset of urinary urgency and a loss of bladder control. These symptoms resolved upon discontinuation of sertraline. She was then given 10 mg of fluoxetine, and she noted that the urinary problems did not return. The medication was gradually tapered up to 40 mg/day with no remarkable adverse events. Discussions: Sertraline tends to stimulate micturition through effects on M3 muscarinic receptors on the bladder’s detrusor muscle and inhibition of the dopamine transporter in the central nervous system. On the other hand, fluoxetine acts antagonistically on 5-HT2C, inhibiting the voiding reflex and promoting urinary continence. Therefore, though both are SSRIs, sertraline and fluoxetine may exhibit different, clinically meaningful effects. Conclusions: Clinicians need to have a greater awareness of urinary incontinence as a side effect of sertraline, as it impacts patients’ adherence and quality of life. When possible, switching to fluoxetine is recommended for patients with urinary problems in the event of sertraline use.

Introductions: In Indonesia, a median of 6.1% of people diagnosed with depression disorder are people over 15 years old. Only 9% of that amount underwent medical treatment, while the rest, 91%, did not undergo treatment for their depressive conditions. Inadequate and inappropriate treatment of depression will lead to Treatment-Resistant Depression (TRD). Using ketamine as a pharmacotherapy opens up new possibilities for TRD treatments. Methods: This study uses a retrospective observational study design with a systematic review approach, in which all variable data were collected from previous studies aimed at measuring the effectiveness of ketamine pharmacological therapy in patients diagnosed with treatment-resistant depression (TRD) using placebo as a benchmark of the effectiveness of ketamine in reduced clinical symptoms of TRD using secondary data in the form of study results and analyzes from published studies of the effectiveness of ketamine therapy. Results: Administration of ketamine at doses of 0.4 mg/kg and 0.5 mg/kg is more effective as an antidepressant compared to placebo in adults and is effective in the elderly at doses above 0.2 mg/kg with a maximal effect at 24 hours post-administration and disappeared by about 7 days post-administration. Conclusions: The administration of ketamine therapy is more effective at reducing depressive symptoms in diagnosed patients (TRD) than the use of placebo and repeated administration of ketamine can increase the likelihood that TRD sufferers respond to therapy and experience remission.

Introductions: Childhood maltreatment is any form of violence or neglect that occurs against children under the age of 18. Street children are a group that is vulnerable to violence because their activities, for which they spend a lot of time on the streets, make it easier for them to experience violence from both adults and fellow students. One of the impacts can cause mental health disorders, one of which is depression. Objective: Analyze the relationship between childhood maltreatment and levels of depression in street children in Surabaya. Methods: A cross-sectional analytical study was conducted on 43 street children from Surabaya City, East Java, Indonesia. Subjects were selected through two stages, namely using the Children’s Depression Inventory (CDI) and the International Child Abuse Screening Tool for Children (ICAST-C) to assess depression and childhood maltreatment. Data analysis using chi-square. Results: The results of the study showed that of the 43 respondents, 18 children experienced childhood maltreatment and 31 children experienced moderate depression. The results of the analysis of the relationship between childhood maltreatment and depression levels showed a p-value of 0.481. Conclusion: Childhood maltreatment is not related to the level of depression in street children in Surabaya.

Introduction: Medical students are at risk of developing depression due to their demanding workload and high expectations, which can impact their academic performance and cognitive function. To prevent severe complications, students must prioritize resources for mental health support, namely religious coping as a coping mechanism. Objective: The aim of this study is proof the correlation between depression levels and religious coping in medical students class of 2020 Universitas Airlangga Methods: This research is an observational analytic study with a cross-sectional design, and random sampling was used as a sampling method, totaling to 90 subjects. Variables used were religious coping and level of depression. The data was then analysed and prevalence, correlation coefficient and p-value were acquired. The research result would be considered significant if p

Introductions: Medical students are required to lifelong learning. Electroencephalog-raphy is a neuroscience tool that can be used to record brain wave activity related to a person’s cognitive function. Objective: This study was conducted to see the relationship between self-regulated learning and cognitive function with quantitative electroencepha-logram (qEEG) parameters. Methods: This study used an observa-tional analytic approach to assess self-regulated learning and cog-nitive function using the MSLQ and MoCA-INA questionnaires. qEEG recording to see brain wave activity was done when the eyes were open and closed and seen in alpha and beta waves. The sam-ple of this study amounted to 32 respondents who were willing to carry out each research procedure. Results: The study findings reveal a significant correlation between SRL and qEEG parameters. In the open-eye condition, such a correla-tion exists in the frontal and central regions with regard to alpha waves (P = 0.046 and P = 0.047). In contrast, in the closed-eye condition, it exists in the occipital, central, and parietal regions with alpha waves (P = 0.005, P = 0.021, and P = 0.049) and the central region with beta waves (P = 0.030). There is a significant correla-tion between cognitive function and qEEG parameters observed in both open and closed-eye conditions within the frontal region beta waves (P = 0.024, P = 0.044, and P = 0.021). Conclusions: There is a relationship between SRL and cognitive function with alpha and beta wave activity on qEEG recording.

Introduction: Adolescents, comprising 1.2 billion globally, face unique challenges during the transformative phase of sexual maturation. This review emphasizes the prevalence of premarital sexual behavior among adolescents, with a focus on Southeast Asia, Indonesia, and Arab nations. The vulnerable nature of this age group is underscored, considering the risks of unsafe abortions, unintended pregnancies, and sexually transmitted diseases. Objective: The primary objective is to offer a comprehensive understanding of premarital sexual behavior in adolescents. By synthesizing recent developments and key findings, this review aims to inform specialists and non-specialists, foster societal dialogue, and serve as a resource for scholars and practitioners interested in adolescent sexual health. Methods: Utilizing PubMed and Google Scholar, an extensive literature search spanning 2018 to 2023 focused on keywords such as “adolescent AND sex” The inclusion criteria involved articles directly aligned with the review’s scope, leading to the identification of 20 relevant articles. Results: Factors influencing adolescent sexual behavior, and the impact of cultural, religious, and societal norms were explored. The importance of sex education, particularly comprehensive sexuality education, in addressing premarital sexual behavior emerged as a critical theme. The impact on adolescent health, both physical and mental, was also highlighted. Conclusions: Premarital sexual behavior among adolescents is a complex issue influenced by various internal and external factors. Comprehensive sexuality education, incorporating cultural and religious teachings, is crucial in promoting healthy decision-making and preventing negative consequences. The review emphasizes the need for ongoing discussions, further research, and improved sexual health education globally.

Introductions: Breast cancer is a major health problem that affects the lives of millions of women. Some patients have tried treatment, but cancer recurrence is still present. It is suspected that growth factors play a role in the occurrence of relapse. However, until now, it has been controversial. Finding out whether there is a relation between personality and the incidence of relapse in breast cancer and comparing the personalities of patients with relapsed breast cancer with those with non-relapsed breast cancer. Methods: Analytical research is an observational case-control study. The number of respondents is 56 patients who meet the criteria. It consists of 28 relapsed patients and 28 non-relapsed patients. The research was conducted at the Oncology Polyclinic of Dr. Soetomo General Hospital. Using an instrument to measure personality types that have been validated, namely the OCEAN—Big Five Questionnaire Inventory 44 and Demographic Questionnaire. Results: There is no relationship between personality and the incidence of relapse in breast cancer (p > 0.05). The type of personality in relapse with the most neuroticism (29%) and non-relapse with the most openness (32%), extraversion (36%). Conclusions: The incidence of relapse in breast cancer is not only caused by personality factors; it is possible that other factors play a role. However, the personality of neuroticism is quite prominent in relapse patients.

A través de diferentes medios de comunicación tradicional y digital, líderes y grupos que optan por el control social y político difunden sus discursos con el propósito de promover y fortalecer visiones ideológicas del mundo social en el que se exacerban las posiciones extremas de la ideología política. No obstante, la valoración política del espectro ideológico de izquierda y derecha no es generalizable, pues el énfasis positivo o negativo depende del contexto social y político. Este artículo describe las características ideológicas del discurso de dos líderes políticos reconocidos en Colombia por su orientación ideológica de izquierda (Gustavo Petro) y derecha (Álvaro Uribe), y la asociación con las estrategias de deslegitimación del otro. Para ello se realizó un estudio de tipo lingüístico descriptivo que compara en contexto los patrones lingüísticos de líderes políticos opuestos que publican en la plataforma digital Twitter (ahora X). Los resultados permiten identificar que el perfil léxico de la cuenta de Uribe se relaciona con temáticas de economía, violencia política, defensa de una ideología conservadurista, deslegitimación del oponente (Petro) y deslegitimación de grupos guerrilleros. Por su parte, el perfil de la cuenta de Petro está conformado por palabras asociadas a la ideología progresista, deslegitimación del oponente (Uribe) y deslegitimación de grupos paramilitares. Se concluye que la orientación política depende del contexto social y tiene como referente asociado un adversario político (y grupo ilegal en el caso colombiano), al que se dirige la estrategia de deslegitimación con el propósito de legitimar o desafiar el orden social establecido.

BackgroundMajor depressive disorder is one of the most disabling mental diseases. Currently， medication in combination with physiotherapy and psychotherapy remains the most commonly used treatment modality for the disease， whereas only a few randomized controlled studies have been conducted on physiotherapy， and even fewer studies have focused on medication combined with physiotherapy.ObjectiveTo explore the efficacy and safety profile of repetitive transcranial magnetic stimulation （rTMS） versus modified electroconvulsive therapy （MECT） in combination with antidepressants in the treatment of major depressive disorder， so as to provide an optimized treatment plan for patients with major depressive disorder.MethodsPatients with major depressive disorder （n=335） hospitalized in Shandong Daizhuang Hospital from January 1， 2019 to April 30， 2023 were included， all of whom met the diagnostic criteria of the International Classification of Diseases， tenth edition （ICD-10）. Depending on their disease condition， patients were subjected to either MECT in combination with drugs （n=141） or rTMS in combination with drugs （n=194） after admission. Depressive symptoms were assessed using Hamilton Depression Scale-24 item （HAMD-24） at the baseline and the end of the 1st， 2nd， 3rd and 4th week of treatment， and the adverse reactions were documented in patient's medical records.ResultsAnalysis of variance on HAMD-24 revealed a significant effect of time （F=3.081， P=0.042）， but no effect of group （F=1.023， P=0.313）， and the interaction effect between the time and the groups was not statistically significant （F=1.642， P=0.191）. No statistical difference was reported between two groups in response rate and full remission rate （P>0.05）. Throughout the course of treatment， 58 cases （41.13%） of recent memory impairment and 74 cases （52.48%） of headache or neck muscle pain occurred in MECT combined with drugs group， and 27 cases （13.92%） in rTMS combined with drugs group experienced headache or head skin discomfort.ConclusionAntidepressants in combination with rTMS or MECT show equivalent efficacy in the treatment of major depressive disorder， while rTMS combined with antidepressants demonstrates a superior safety profile compared to MECT.

BackgroundThe existing tools in China for assessing psychiatric nurses' knowledge， attitude and practice towards the use of protective restraint do not sufficiently consider the specialty in psychiatric practice， and the scale items are somewhat cumbersome to use， which together restrict their further promotion and application. Accordingly， there is an urgent need for developing a more scientific assessment tool.ObjectiveTo construct a scale for assessing psychiatric nurses' knowledge， attitude and practice towards the use of protective restraint and to verify its reliability and validity， so as to provide a generic tool for the assessment.MethodsBased on the theoretical framework of the knowledge-attitude-practice model， the preliminary scale was formed through systematic literature review， qualitative interview and Delphi method. From July to December 2021， a stratified sampling was utilized to select 729 psychiatric nurses from tertiary， secondary and primary （including unclassified medical institutions and grassroots hospitals） psychiatric hospitals in Guangdong Province. The formal scale was developed through item analysis， exploratory factor analysis and confirmatory factor analysis. The validity of the scale was evaluated by content validity and structure validity， and the reliability was verified by procedures including Cronbach's α coefficient， test-retest reliability， and split-half reliability.ResultsA total of 12 items of three dimensions （knowledge， attitude， practice） were included in the scale for assessing psychiatric nurses' knowledge， attitude and practice towards the use of protective restraint. The scale-level content validity index （S-CVI） was 0.941， and the item-level content validity index （I-CVI） ranged from 0.812 to 1.000. Exploratory factor analysis extracted three common factors， and the cumulative variance contribution rate was 62.948%. The confirmatory factor yielded adequate fit. Cronbach's α coefficient was found to be 0.887 for the scale， 0.819 for knowledge dimension， 0.842 for attitude dimension， and 0.831 for practice dimension. The split-half reliability and test-retest reliability for the scale were 0.712 and 0.922， respectively.ConclusionThe scale shows satisfactory reliability and validity， which can be used to assess psychiatric nurses' knowledge， attitude and practice towards the use of protective restraint. ［Funded by Guangdong Clinical Teaching Base Teaching Reform Research Project （number， 2021JD119）］