7 results on '"Ikhwan Rinaldi"'
Search Results
2. Pendekatan Klinis Polisitemia
- Author
-
Rahmat Cahyanur and Ikhwan Rinaldi
- Subjects
Gynecology ,medicine.medical_specialty ,medicine.diagnostic_test ,business.industry ,medicine ,General Materials Science ,Hematocrit ,Phlebotomy ,business - Abstract
Polisitemia atau eritrositosis merupakan peningkatan jumlah sel darah merah dalam sirkulasi. Polisitemia merupakan kasus yang bisa menimbulkan pertanyaan dan dilema bagi dokter. Artikel ini akan membahas tentang pendekatan diagnosis dan tata laksana polisitemia. Keluhan awal yang dirasakan oleh pasien umumnya nonspesifik, seperti lemas, pusing akibat hiperviskositas darah. Selain itu, hal penting yang harus diketahui adalah penyakit penyerta, obat-obat yang rutin digunakan, kebiasaan, riwayat trombosis (stroke, penyakit jantung) dan riwayat keluarga. Secara umum, pasien polisitemia memperlihatkan gejala plethora. Pemeriksaan status generalis kita mencari adanya tanda yang mengarahkan kepada polisitemia sekunder, seperti rendahnya saturasi oksigen yang dapat ditemui pada polisitemia sekunder. Pemeriksaan penunjang awal yang mudah dikerjakan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap. Ferritin dan saturasi transferin dilakukan untuk menilai status besi yang dapat menyamarkan kejadian polisitemia, terutama bila gambaran darah tepi menunjukkan mikrositik hipokrom. Pemeriksaan lanjutan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan molekular. Pada kasus polisitemia vera, upaya untuk mencegah terjadinya kejadian trombosis menjadi tujuan utama pengobatan. Pada kasus polisitemia sekunder, tata laksana dilakukan untuk mengidentifikasi penyakit yang mendasari serta mengobatinya, salah satunya dengan phlebotomi. Kata Kunci: Eritosit, hematokrit, phlebotomi, polisitemia Polycythemia: A Clinical Approach Polycythemia or erythrocytosis is an increase in the number of red blood cells in circulation marked by the increase in hematocrit. Polycythemia is a case that still raises questions and dilemma for doctors. In this paper, it will be discussed about the diagnostic approach and management of polycythemia. The initial complaints of polycythemia are generally nonspecific, such as weakness and dizziness due to blood hyperviscosity. It is also essential to know accompanying diseases, routine medications, habits, and family histories of the patients. Patients with polycythemia commonly exhibit plethora. In vital sign examination, hypertension can be found in polycythemia vera. In general examination, we should look for signs that lead to secondary polycythemia, such as low oxygen saturation that can be found in secondary polycythemia. Initial workup that should be done is a complete blood count. Ferritin and transferrin saturation are evaluated to assess the iron status that can disguise the incidence of polycythemia, especially when the image of the blood smear indicates a microcytic hyperchromic. Advanced work up that can be done is genetic examination. In the case of polycythemia vera, the primary purpose of treatment is to prevent thrombotic events. In the case of secondary polycythemia, the aim of management is to identify the underlying disease and treat it, which one of them is phlebotomy.
- Published
- 2019
- Full Text
- View/download PDF
3. Gambaran Darah Tepi, Rasio Neutrofil-Limfosit, dan Rasio Trombosit-Limfosit pada Pasien Tuberkulosis Paru dengan Depresi
- Author
-
Rudi Putranto, Cleopas Martin Rumende, Hamzah Shatri, Ikhwan Rinaldi, and Reinaldo Alexander
- Subjects
Gynecology ,medicine.medical_specialty ,business.industry ,Pulmonary tuberculosis ,medicine ,General Materials Science ,business ,Platelet lymphocyte ratio - Abstract
Pendahuluan . Pasien dengan tuberkulosis (TB) paru memiliki peningkatan risiko untuk mengalami depresi sampai 1,53 kali dari sebuah studi kohort besar. Studi – studi menemukan adanya peningkatan rasio neutrofil – limfosit (RNL) pada berbagai gangguan mood termasuk depresi, juga rasio trombosit – limfosit (RTL) terkait dengan depresi berat yang disertai dengan gejala psikotik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik gambaran darah tepi, RNL, dan RTL pada pasien TB paru yang mengalami depresi. Metode. Studi dengan desain potong lintang dilakukan terhadap 106 pasien TB paru tidak resisten obat yang berobat jalan di poliklinik paru RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta dari bulan Agustus hingga Oktober 2018. Diagnosis depresi ditegakkan dengan wawancara menurut kriteria diagnosis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder- V (DSM-V) dan derajat depresi ditentukan menggunakan kuesioner Beck Depression Inventory -II (BDI-II). Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendapatkan hasil darah perifer lengkap, RNL, dan RTL. Uji statistik parametrik digunakan untuk variabel-variabel numerik dengan sebaran merata, sementara uji nonparametrik digunakan bila sebaran tidak merata. Hasil. Dari 106 pasien TB paru tidak resisten obat yang menjadi subjek penelitian, didapatkan proporsi depresi sebesar 32%. Didapatkan nilai leukosit lebih rendah pada pasien TB paru dengan depresi (p=0,024), dan juga nilai limfosit absolut yang lebih rendah pada pasien TB paru dengan depresi (p=0,004) bila dibandingkan dengan subjek tanpa depresi. Rasio neutrofil – limfosit (RNL) dan RTL tidak berhubungan signifikan secara statistik (p>0,05) dengan beratnya derajat depresi. Simpulan. Nilai hitung leukosit dan limfosit pada pasien TB paru dengan depresi lebih rendah dibandingkan pasien tanpa depresi. Nilai RNL dan RTL pada pasien depresi dengan TB paru lebih tinggi walaupun tidak signifikan secara statistik. Kata K unci : D epresi, Gambaran darah tepi, Rasio neutrofil – limfosit, Rasio trombosit – limfosit, Tuberkulosis paru Peripheral Blood Count Characteristics, Neutrophil-Lymphocyte Ratio, and Platelet-Lymphocyte Ratio Pulmonary Tuberculosis Patients with Depression Introduction . Patients with pulmonary tuberculosis (TB) had an increased risk for depression up to 1.53 times from a large cohort study. Studies have found an increase in the neutrophil - lymphocyte ratio (NLR) in various mood disorders including depression, also the value of the platelet-lymphocyte ratio (PLR) associated with major depression accompanied by psychotic symptoms. This study aimed to describe the peripheral blood characteristics, NLR, and PLR in pulmonary TB patients with depression. Method s . A cross-sectional study of 1 06 non-multidrug-resistant pulmonary TB patients was done at outpatient department of Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta from August to October 2018. The diagnosis of depression was made by interview according to Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-V (DSM-V) criteria, and severity of depression is determined using Beck Depression Inventory-II (BDI-II). The laboratory tests were done to obtain complete peripheral blood results, NLR, and TLR. Parametric test was used for numeric variables with even distribution, and nonparametric test for variables with uneven distribution . Results. From 10 6 patients with non-multidrug-resistant pulmonary TB, the proportion of depression was 3 2 %. White blood cell count (p=0.024), and absolute lymphocte count (p=0.004) is lower in depressed TB patients compared to nondepressed TB patients. There were no significant relationship between NL R and TLR and the severity of depression in depressed pulmonary TB patients (p>0.05). Conclusion. White blood cell count and absolute lymphocyte count are lower in depressed pulmonary TB patients. Meanwhile, RNL and PLR are higher in depressed pulmonary TB patients eventhough not statistically significant.
- Published
- 2019
- Full Text
- View/download PDF
4. Profil Pelaksanaan Profilaksis Pasca Pajanan terhadap Hepatitis B, Hepatitis C, dan Human Immunodeficiency Virus pada Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Periode 2014-2016
- Author
-
Andri Sanityoso Sulaiman, Evy Yunihastuti, Dewi Mira Ratih, Regina Lestari, and Ikhwan Rinaldi
- Subjects
Gynecology ,medicine.medical_specialty ,business.industry ,medicine.medical_treatment ,medicine ,Human immunodeficiency virus (HIV) ,General Materials Science ,Hepatitis C ,Hepatitis B ,Post-exposure prophylaxis ,medicine.disease ,business ,medicine.disease_cause - Abstract
Pendahuluan. Petugas kesehatan memiliki risiko pajanan infeksi yang cukup tinggi. Hepatitis B, hepatitis C, dan human immunodeficiency virus (HIV) adalah beberapa penyakit yang dapat menular melalui pajanan cairan atau jaringan tubuh. Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo (RSCM) telah mencanangkan profilaksis pasca pajanan terhadap HIV, hepatitis B, dan hepatitis C. Penelitian ini dilakukan untuk menilai pelaksanaan profilaksis pasca pajanan terhadap HIV, hepatitis B, dan hepatitis C pada petugas kesehatan di RSCM Jakarta. Metode. Studi potong lintang dilakukan pada petugas terpajan yang terdata melalui laporan di RSCM Jakarta pada tahun 2014-2016. Data demografis dikumpulkan melalui rekam medis dan dilanjutkan dengan wawancara untuk data tambahan. Data diolah secara statistik menggunakan SPSS versi 20. Hasil. Dari 196 subjek yang melaporkan pajanan, sebagian besar merupakan perempuan (69,9%), bekerja sebagai perawat (38,3%), dan dokter (49,5%), serta mayoritas terpajan secara per kutan (93,4%). Dari seluruh laporan tersebut didapatkan 183 pajanan berisiko, dengan anti-HIV reaktif pada 19 (10,4%), HBsAg positif pada 11 (6,0%), dan anti-HCV reaktif pada 12 (6,6%) sumber pajanan. Mayoritas petugas terpajan diketahui tidak memiliki HIV, hepatitis B, dan hepatitis C. Hanya 27,5% petugas terpajan memiliki kadar anti-HBs protektif. Dari 183 pajanan berisiko, sebanyak 44,3% mendapatkan rekomendasi antiretroviral (ARV), namun hanya 49,4% petugas yang minum ARV secara lengkap (28 hari). Capaian evaluasi anti-HIV pada bulan ke-3 dan ke-6 hanya dilakukan oleh 21,3% petugas. Rekomendasi profilaksis pasca pajanan hanya diberikan kepada 20,3% laporan, dengan capaian hanya 13,5% dan 13,3% untuk vaksinasi hepatitis B dan immunoglobulin (HBIG). Evaluasi ulangan HBsAg 3 dan 6 bulan secara lengkap hanya dilakukan oleh 13,5% petugas kesehatan, mayoritas petugas (64,9%) tidak melakukan evaluasi ulang HBsAg. Dari seluruh pajanan berisiko hepatitis C, mayoritas tidak melakukan evaluasi ulang terhadap anti-HCV (69,9%). Simpulan. Pelaksanaan profilaksis pasca pajanan terhadap HIV, hepatitis B, dan hepatitis C masih rendah, terutama pada evaluasi status serologis lanjutan. Oleh karena itu, penanganan profilaksis secara komprehensif penting dilakukan termasuk peningkatan pengetahuan dan kesadaran petugas kesehatan, peninjauan kembali standar operasional prosedur, dan komunikasi yang efektif. Kata Kunci: Hepatitis B, Hepatitis C, HIV, Petugas kesehatan, Profilaksis pascapajanan Profil of Implementation of Post Exposure Prophylaxis of Hepatitis B, Hepatitis C and Human Immunodeficiency Virus to Health Care Worker in Cipto Mangunkusomo Hospital 2014-2016 Introduction. Health care workers (HCW) have a high risk of infectious substance exposure. Hepatitis B, hepatitis C, or human immunodeficiency virus (HIV) are some diseases transmitted by body fluid or body tissue. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta has been implementing post-exposure prophylaxis (PEP)s towards HIV, hepatitis B, and hepatitis C. This study aimed to identify the implementation of post-exposure prophylaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C among HCW in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Methods. A cross-sectional study was conducted to exposed workers in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta between 2014-2016 who had been recorded by report. Demographic data were collected through medical record and interview was conducted to gather additional data. Statistical analysis was conducted with SPSS 20. Results. Among 196 reports, most HCW were female (69.9%), worked as nurse (38.3%), medical doctor (49.5%), and exposed percutaneously (93.4%). There were 183 risky exposures, with 19 (10.4%) reactive anti-HIV, 11 (6.0%) positive HBsAg, and 12 (6.6%) reactive anti-HCV in source of exposure. Almost all of the HCW has no HIV, hepatitis B, nor hepatitis C at the moment of exposure. Recommendation for antiretroviral (ARV) was given to 81 HCW, but only 49.4% completed the course. Anti-HIV follow up was done only by 21.3% workers. Recommendation of PEP for hepatitis B was given to 37 HCW. But, only 13.5% and 13.3% receive hepatitis B vaccination and hepatitis B immunoglobulin, respectively. Follow-up of HBsAg and anti-HBs on 3rd and 6th months were done by 41 (31.1%), 38 (28.8%), and 2 (1.5%) workers who were recommended to receive prophylaxis. In 182 workers recommended to do the follow-up of anti-HCV, 39 (21.4%), and 37 (20.3%) workers did the follow-up on 3rd and 6th month. Majority of exposed workers were not re-evaluated for HBsAg (64.9%) and anti-HCV (69.9%). Conclusions. The implementation of post-exposure prophylaxis for HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C was still low especially in re-evaluation serologic marker. Comprehensive management is recommended including improving knowledge of health care workers, re-evaluation of operational procedure standard, and effective communication.
- Published
- 2019
- Full Text
- View/download PDF
5. Korelasi antara Faktor Reumatoid dan Vascular Cell Adhesion Molecule-1 pada Pasien Artritis Reumatoid Tanpa Sindroma Metabolik
- Author
-
Ikhwan Rinaldi, Rudy Hidayat, Reza Yogaswara, and Muhadi Muhadi
- Subjects
Gynecology ,medicine.medical_specialty ,business.industry ,Rheumatoid arthritis ,medicine ,Rheumatoid factor ,General Materials Science ,Metabolic syndrome ,medicine.disease ,business - Abstract
Pendahuluan. Komplikasi kardiovaskular yang disebabkan oleh disfungsi endotel menjadi salah satu penyebab mortalitas yang cukup tinggi pada pasien Artritis Reumatoid (AR). Faktor Reumatoid (RF) merupakan autoantibodi yang sering dijumpai pada AR dan diduga dapat meningkatkan respon inflamasi dan disfungsi endotel. Sindroma metabolik dapat pula meningkatkan disfungsi endotel. Belum ada studi yang menilai korelasi RF dan disfungsi endotel pada pasien AR tanpa sindroma metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 pada pasien AR tanpa sindroma metabolik. Metode. Penelitian desain potong lintang terhadap pasien AR dewasa yang berobat di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo tanpa sindroma metabolik. Pengumpulan data dilakukan sejak Februari hingga Maret 2018 dari data penelitian sebelumnya yang diambil periode Februari 2016 hingga September 2017. Kadar RF dan VCAM-1 dinilai melalui pemeriksaan serum darah dengan metode ELISA. Korelasi antarkedua variabel dibuat dengan analisis korelasi Spearman menggunakan SPSS versi 20.0. Hasil. Sebanyak 46 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini. Sebagian besar (95,7%) subjek adalah perempuan dengan rerata usia 44,43 tahun, median lama sakit 36 bulan, dan sebagian besar memiliki derajat aktivitas sedang (52,2%). sebagian besar pasien memiliki RF positif (63%). Korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 memiliki kekuatan korelasi yang lemah tetapi tidak bermakna secara statistik (r=0,264; p=0,076). Subjek dengan RF positif memiliki kadar VCAM-1 yang lebih tinggi (626,89 vs. 540,96 ng/mL). Simpulan. Belum didapatkan korelasi antara RF dengan VCAM-1 pada pasien Artritis Reumatoid tanpa sindroma metabolik. Kata Kunci: Artritis reumatoid, Faktor reumatoid, Sindroma metabolik, Vascular Cell Adhesion Molecule-1 Correlation between Rheumatoid Factor and Vascular Cell Adhesion Molecule-1 Levels in Rheumatoid Arthritis Patients without Metabolic Syndrome Introduction. Cardiovascular complications caused by endothelial dysfunction become one of the highest causes of mortality in patients with Rheumatoid Arthritis (RA). Rheumatoid Factor (RF) is an autoantibody that is commonly found in RA and is thought increasing the inflammatory response and endothelial dysfunction. Metabolic syndrome may also increase endothelial dysfunction. There have been no study assessing correlation between RF and endothelial dysfunction in RA patients without metabolic syndrome. Aim of this study was to determine the correlation between RF levels with VCAM-1 levels in RA patients without metabolic syndrome. Methods. Cross sectional design study of adult RA patients treated in Rheumatology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital without metabolic syndrome. Data collection was conducted from February to March 2018 from the previous research data taken from February 2016 to September 2017. The levels of RF and VCAM-1 were assessed through blood serum testing using the ELISA method. Correlation between the two variables was made using Spearman correlation analysis with SPSS 20.0 Results. A total of 46 subjects were included in the study. Most (95.7%) subjects were women with an average age of 44.43 years, median duration of 36 months, and most had moderate activity (52.2%). Most patients had a positive RF (63%). The correlation between RF levels and VCAM-1 levels had a weak correlation strength but was not statistically significant (r= 0.264; p= 0.076). Subjects with RF positive had higher levels of VCAM-1 (626.89 vs. 540.96 ng / mL). Conclusion. There is no correlation yet between RF and VCAM-1 in RA patient s without metabolic syndrome.
- Published
- 2018
- Full Text
- View/download PDF
6. Uji Keandalan dan Kesahihan Kuesioner Kualitas Hidup Short Form 12 Berbahasa Indonesia pada Pasien Artritis Reumatoid
- Author
-
Nabil Mubtadi Falah, Bambang Setyohadi, Rudi Putranto, and Ikhwan Rinaldi
- Subjects
Gynecology ,medicine.medical_specialty ,business.industry ,medicine ,General Materials Science ,business - Abstract
Pendahuluan. Artritis Reumatoid (AR) merupakan penyakit kronik yang membutuhkan pengobatan jangka panjang dan memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Kuesioner SF-12 merupakan kuesioner kualitas hidup generik yang dapat digunakan untuk pasien AR dan telah diuji kesahihan dan keandalannya diInggris. Penelitian ini bertujuan untuk menguji keandalan dan kesahihan kuesioner SF-12 Berbahasa Indonesia Metode. Enam puluh lima orang pasien yang telah didiagnosis AR secara klinis sebelumnya berdasarkan kriteria ACR/EULAR, diwawancarai dengan menggunakan kuesioner SF-36 dan SF-12 versi Indonesia. Kesahihan dinilai menggunakan kesahihan konstruksi dan kesahihan eksternal dan keandalan dinilai melalui metode konsistensi internal dan tes ulang. Hasil. SF-12 berbahasa Indonesian tidak terbukti memiliki kesahihan yang baik dengan korelasi setiap pertanyaan dengan SF-36 terbukti rendah pada domain RE dan MH (P
- Published
- 2017
- Full Text
- View/download PDF
7. Diagnosis dan Tata Laksana Acquired Hemophilia A (AHA) dengan Pemfigoid Bulosa
- Author
-
Rasco Sandy Sihombing, Hamzah Shatri, Henry Ratno Diono Silalahi, Lugyanti Sukrisman, Findy Prasetyawati, Em Yunir, Ikhwan Rinaldi, and Endy Novianto
- Subjects
congenital, hereditary, and neonatal diseases and abnormalities ,medicine.medical_specialty ,integumentary system ,business.industry ,hemic and lymphatic diseases ,Medicine ,General Materials Science ,Bullous pemphigoid ,business ,medicine.disease ,Dermatology - Abstract
Acquired hemophilia A merupakan kondisi dimana faktor koagulasi VIII menjadi tidak aktif akibat pembentukan autoantibodi. Kondisi ini dikaitkan dengan kehamilan, keganasan, dan penyakit auitoimun dengan kelainan kulit. Pada kasus ini, seorang wanita berusia 66 tahun, datang dengan keluhan perdarahan paska tindakan yang disertai dengan lesi kulit. Pasien didiagnosis dengan acquired hemophilia A dengan ditemukannya inhibitor faktor VIII terkait dengan pemfigoid bulosa. Kata Kunci: Acquired hemophilia A, diagnosis, pemfigoid bulosa, tata laksana Diagnosis and Treatment of Acquired Hemophilia A (AHA) with Bullous Pemphigoid Acquired hemophilia A is a condition in which coagulation factor VIII become inactive due to autoantibody formation. This condition is related to pregnancy, malignancy, and autoimmune disease with skin disorder. In this case report, a 66 years woman with a post procedural bleeding with skin disorder. Later on, patient diagnosed with acquired hemophilia A with a factor VIII inhibitors related to bullous pemphigoid. Keywords : Acquired hemophilia A, bullous pemphigoid, diagnosis, treatment
- Published
- 2017
- Full Text
- View/download PDF
Catalog
Discovery Service for Jio Institute Digital Library
For full access to our library's resources, please sign in.