Search

This research analyzes the novel's cinematic version's characters, conflict, and settings. In this research, two separate works are examined and contrasted. The first is a literary work by J.R.R. Tolkien, a novel published in 1955 under the title The Lord of the Rings: The Return of the King. The second is a cinematic adaptation made by Peter Jackson in 2003 under the same title. By comparing the two works, Linda Hutcheon's theory of adaptation is used to support this research. Qualitative analysis and library research are used as research methods in this study. The writer argues that the personalities of the five major characters in the movie are different from those portrayed in the novel, such as the characters being weakened and more anxious. The conflict in the adaptation is distinct from the one in the book, in which some conflicts have been excluded. The audience’s imagination was visualized and adapted to the settings. Jackson also could make the characters more human in the epic scene, emphasizing friendship, solidarity and war.

This thesis analyzes Roald Dahl's 1982 children's book, The BFG–also known as The Big Friendly Giant–and its 2016 adaptation, The BFG, directed by Stephen Spielberg. The research intends to describe the differences in the portrayal of England in the aforementioned works. It also aims to examine the image of England in the movie. Hutcheon's adaptation theory is applied to explain how the movie's portrayal of England and the English differs from one in the book. Meanwhile, the image of England as a country is analyzed by scrutinizing the movie's Mise-en-scène elements. The findings indicate that the movie uses a significant portion of its running time to showcase the beauty of England and the integrity of the English. The findings also imply that The BFG (2016)'s Mise-en-scène elements enhance the positive image of England and its people.

This research analyzes the novel's cinematic version's characters, conflict, and settings. In this research, two separate works are examined and contrasted. The first is a literary work by J.R.R. Tolkien, a novel published in 1955 under the title The Lord of the Rings: The Return of the King. The second is a cinematic adaptation made by Peter Jackson in 2003 under the same title. By comparing the two works, Linda Hutcheon's theory of adaptation is used to support this research. Qualitative analysis and library research are used as research methods in this study. The writer argues that the personalities of the five major characters in the movie are different from those portrayed in the novel, such as the characters being weakened and more anxious. The conflict in the adaptation is distinct from the one in the book, in which some conflicts have been excluded. The audience’s imagination was visualized and adapted to the settings. Jackson also could make the characters more human in the epic scene, emphasizing friendship, solidarity and war.

This thesis analyzes Roald Dahl's 1982 children's book, The BFG–also known as The Big Friendly Giant–and its 2016 adaptation, The BFG, directed by Stephen Spielberg. The research intends to describe the differences in the portrayal of England in the aforementioned works. It also aims to examine the image of England in the movie. Hutcheon's adaptation theory is applied to explain how the movie's portrayal of England and the English differs from one in the book. Meanwhile, the image of England as a country is analyzed by scrutinizing the movie's Mise-en-scène elements. The findings indicate that the movie uses a significant portion of its running time to showcase the beauty of England and the integrity of the English. The findings also imply that The BFG (2016)'s Mise-en-scène elements enhance the positive image of England and its people.

What is the relationship between detailed critical analysis and the background assumptions made by a given theory of film spectatorship? In this article, I approach this question by looking at Vittorio Gallese and Michele Guerra's The Empathic Screen in the light of the method of triangulation—the coordination and integration of phenomenological, psychological, and neuroscientific evidence, as set out in my Film, Art, and the Third Culture. In particular, I examine Gallese and Guerra's arguments concerning the role of camera movement in prompting immersive, embodied simulation, as well as critiques of these arguments from David Bordwell and Malcolm Turvey. I focus on the special, irreducible role of critical analysis in these arguments. Detailed analysis of film form and style plays an essential role, I argue, in demonstrating the plausibility (or otherwise) of the thesis advanced by Gallese and Guerra. Such analysis is where the rubber of theoretical assumptions meets the road of the material work.

In 1967, the self-produced fan-magazine Spockanalia was launched, creating a distinct cultural heritage practice: fan fiction or fanfiction. Star Trek fandom used these amateur publishing practices to document and expand upon major media texts. In doing so, fans produced a unique form of fiction that has provided enduring critical commentary in popular culture. This chapter surveys textual transformative works within their social, cultural, and historical contexts by overviewing major fan fiction works with Star Trek fandom. In the survey of key materials, this chapter argues that fanfiction was used as: (1) a tool for critique; (2) pleasure-making; and (3) diversity-building. Although a comprehensive list of fans’ textual engagement could never fully be documented within a single chapter, this work attempts to outline unique work produced by Star Trek fandom that shaped creative writing practices.

Skripsi berjudul Sejarah Anime dan Representasinya sebagai Produk Fenomenal Budaya Populer (1988-2000) : Studi Kasus AKIRA, Mononoke No Hime & Shin Seiki Evangelion merupakan sebuah skripsi sejarah budaya yang mengambil topik pembahasan mengenai anime atau animasi Jepang pada batasan temporal yang bersangkutan. Skripsi ini oleh penulis ditujukan untuk membahas mengenai sejarah anime dan representasinya sebagai budaya populer serta dua film anime dan satu tayangan televisi anime sebagai studi kasus dari topik yang bersangkutan. Metode penelitain yang penulis gunakan mencakup heuristik, interpretasi dan kritik dan akhirnya historiografi. Anime merupakan produk budaya populer Jepang yang fenomenal disebabkan sudah memiliki pemirsanya sendiri di era 60-an, berkembang sebagai karya seni di era 70-an, mendapatkan sambutan luar biasa diseluruh dunia di era 80-an, sedikit berubah haluan di era 90-an bahkan terus berkembang hingga saat ini. Anime secara sederhana adalah animasi Jepang, dalam hal ini merupakan sebuah pekerjaan film yang melibatkan para animator Jepang untuk memanipulasi framerate yang menyebabkan gambar diam menjadi bergerak dimana setiap 12 hingga 24 gambar (frame) mewakili satu detik dari pergerakan tersebut. Proses ini sama halnya seperti pengetahuan dasar animasi dan anime umumnya memiliki 12 fps (frame per second) dan hampir semuanya digambar dengan tangan (handdrawn). Meskipun dengan kemajuan teknologi memungkinkan animator mengerjakan animasi dalam anime dengan komputer dan dibantu dengan penerapan CG (computer grapfic) berbasis 3D, animator masih mengerjakan anime secara handdrawn yang memiliki estetikanya sendiri. Tiap era, anime memiliki identintitas artistik dan naratif yang berubah yang menjadi faktor pembeda anime pada tiap era. Karena itulah dalam studi kasus, penulis memilih dua film anime dan satu serial televisi anime yang menunjukan keragaman tersebut dan representasinya diantaranya yaitu : AKIRA (1988), Shin Seiki Evangelion (1995) dan Mono

Skripsi berjudul Sejarah Anime dan Representasinya sebagai Produk Fenomenal Budaya Populer (1988-2000) : Studi Kasus AKIRA, Mononoke No Hime & Shin Seiki Evangelion merupakan sebuah skripsi sejarah budaya yang mengambil topik pembahasan mengenai anime atau animasi Jepang pada batasan temporal yang bersangkutan. Skripsi ini oleh penulis ditujukan untuk membahas mengenai sejarah anime dan representasinya sebagai budaya populer serta dua film anime dan satu tayangan televisi anime sebagai studi kasus dari topik yang bersangkutan. Metode penelitain yang penulis gunakan mencakup heuristik, interpretasi dan kritik dan akhirnya historiografi. Anime merupakan produk budaya populer Jepang yang fenomenal disebabkan sudah memiliki pemirsanya sendiri di era 60-an, berkembang sebagai karya seni di era 70-an, mendapatkan sambutan luar biasa diseluruh dunia di era 80-an, sedikit berubah haluan di era 90-an bahkan terus berkembang hingga saat ini. Anime secara sederhana adalah animasi Jepang, dalam hal ini merupakan sebuah pekerjaan film yang melibatkan para animator Jepang untuk memanipulasi framerate yang menyebabkan gambar diam menjadi bergerak dimana setiap 12 hingga 24 gambar (frame) mewakili satu detik dari pergerakan tersebut. Proses ini sama halnya seperti pengetahuan dasar animasi dan anime umumnya memiliki 12 fps (frame per second) dan hampir semuanya digambar dengan tangan (handdrawn). Meskipun dengan kemajuan teknologi memungkinkan animator mengerjakan animasi dalam anime dengan komputer dan dibantu dengan penerapan CG (computer grapfic) berbasis 3D, animator masih mengerjakan anime secara handdrawn yang memiliki estetikanya sendiri. Tiap era, anime memiliki identintitas artistik dan naratif yang berubah yang menjadi faktor pembeda anime pada tiap era. Karena itulah dalam studi kasus, penulis memilih dua film anime dan satu serial televisi anime yang menunjukan keragaman tersebut dan representasinya diantaranya yaitu : AKIRA (1988), Shin Seiki Evangelion (1995) dan Mono

Skripsi berjudul Sejarah Anime dan Representasinya sebagai Produk Fenomenal Budaya Populer (1988-2000) : Studi Kasus AKIRA, Mononoke No Hime & Shin Seiki Evangelion merupakan sebuah skripsi sejarah budaya yang mengambil topik pembahasan mengenai anime atau animasi Jepang pada batasan temporal yang bersangkutan. Skripsi ini oleh penulis ditujukan untuk membahas mengenai sejarah anime dan representasinya sebagai budaya populer serta dua film anime dan satu tayangan televisi anime sebagai studi kasus dari topik yang bersangkutan. Metode penelitain yang penulis gunakan mencakup heuristik, interpretasi dan kritik dan akhirnya historiografi. Anime merupakan produk budaya populer Jepang yang fenomenal disebabkan sudah memiliki pemirsanya sendiri di era 60-an, berkembang sebagai karya seni di era 70-an, mendapatkan sambutan luar biasa diseluruh dunia di era 80-an, sedikit berubah haluan di era 90-an bahkan terus berkembang hingga saat ini. Anime secara sederhana adalah animasi Jepang, dalam hal ini merupakan sebuah pekerjaan film yang melibatkan para animator Jepang untuk memanipulasi framerate yang menyebabkan gambar diam menjadi bergerak dimana setiap 12 hingga 24 gambar (frame) mewakili satu detik dari pergerakan tersebut. Proses ini sama halnya seperti pengetahuan dasar animasi dan anime umumnya memiliki 12 fps (frame per second) dan hampir semuanya digambar dengan tangan (handdrawn). Meskipun dengan kemajuan teknologi memungkinkan animator mengerjakan animasi dalam anime dengan komputer dan dibantu dengan penerapan CG (computer grapfic) berbasis 3D, animator masih mengerjakan anime secara handdrawn yang memiliki estetikanya sendiri. Tiap era, anime memiliki identintitas artistik dan naratif yang berubah yang menjadi faktor pembeda anime pada tiap era. Karena itulah dalam studi kasus, penulis memilih dua film anime dan satu serial televisi anime yang menunjukan keragaman tersebut dan representasinya diantaranya yaitu : AKIRA (1988), Shin Seiki Evangelion (1995) dan Mono

Skripsi berjudul Sejarah Anime dan Representasinya sebagai Produk Fenomenal Budaya Populer (1988-2000) : Studi Kasus AKIRA, Mononoke No Hime & Shin Seiki Evangelion merupakan sebuah skripsi sejarah budaya yang mengambil topik pembahasan mengenai anime atau animasi Jepang pada batasan temporal yang bersangkutan. Skripsi ini oleh penulis ditujukan untuk membahas mengenai sejarah anime dan representasinya sebagai budaya populer serta dua film anime dan satu tayangan televisi anime sebagai studi kasus dari topik yang bersangkutan. Metode penelitain yang penulis gunakan mencakup heuristik, interpretasi dan kritik dan akhirnya historiografi. Anime merupakan produk budaya populer Jepang yang fenomenal disebabkan sudah memiliki pemirsanya sendiri di era 60-an, berkembang sebagai karya seni di era 70-an, mendapatkan sambutan luar biasa diseluruh dunia di era 80-an, sedikit berubah haluan di era 90-an bahkan terus berkembang hingga saat ini. Anime secara sederhana adalah animasi Jepang, dalam hal ini merupakan sebuah pekerjaan film yang melibatkan para animator Jepang untuk memanipulasi framerate yang menyebabkan gambar diam menjadi bergerak dimana setiap 12 hingga 24 gambar (frame) mewakili satu detik dari pergerakan tersebut. Proses ini sama halnya seperti pengetahuan dasar animasi dan anime umumnya memiliki 12 fps (frame per second) dan hampir semuanya digambar dengan tangan (handdrawn). Meskipun dengan kemajuan teknologi memungkinkan animator mengerjakan animasi dalam anime dengan komputer dan dibantu dengan penerapan CG (computer grapfic) berbasis 3D, animator masih mengerjakan anime secara handdrawn yang memiliki estetikanya sendiri. Tiap era, anime memiliki identintitas artistik dan naratif yang berubah yang menjadi faktor pembeda anime pada tiap era. Karena itulah dalam studi kasus, penulis memilih dua film anime dan satu serial televisi anime yang menunjukan keragaman tersebut dan representasinya diantaranya yaitu : AKIRA (1988), Shin Seiki Evangelion (1995) dan Mono

In late 2019, a poetry-writing “walkshop” in Pretoria/Tshwane, South Africa, was organized in collaboration with two local arts organizations. In this chapter, the walkshop is contextualized within debates on flânerie in South African cities, and attention given to the benefits and limitations of positioning it as part of this aesthetic tradition. This includes recognizing that, unlike Benjamin’s flâneur, the wandering poet is not easily identifiable in—or readily applicable to—South African’s urban environs. Close-reading the 12 poems written during the “Imagineering Tshwane” walkshop does suggest, however, that the concept of the poet-flâneur in Pretoria/Tshwane has merit. This figure can expose the mechanisms of control which limit how people use the city, and the ways in which people can and do resist them. The walkshop therefore demonstrates how flânerie amongst other artistic interventions can broaden understandings of the city in ways unavailable to the developmental discourse most often used to theorize Pretoria/Tshwane.

Skripsi berjudul Sejarah Anime dan Representasinya sebagai Produk Fenomenal Budaya Populer (1988-2000) : Studi Kasus AKIRA, Mononoke No Hime & Shin Seiki Evangelion merupakan sebuah skripsi sejarah budaya yang mengambil topik pembahasan mengenai anime atau animasi Jepang pada batasan temporal yang bersangkutan. Skripsi ini oleh penulis ditujukan untuk membahas mengenai sejarah anime dan representasinya sebagai budaya populer serta dua film anime dan satu tayangan televisi anime sebagai studi kasus dari topik yang bersangkutan. Metode penelitain yang penulis gunakan mencakup heuristik, interpretasi dan kritik dan akhirnya historiografi. Anime merupakan produk budaya populer Jepang yang fenomenal disebabkan sudah memiliki pemirsanya sendiri di era 60-an, berkembang sebagai karya seni di era 70-an, mendapatkan sambutan luar biasa diseluruh dunia di era 80-an, sedikit berubah haluan di era 90-an bahkan terus berkembang hingga saat ini. Anime secara sederhana adalah animasi Jepang, dalam hal ini merupakan sebuah pekerjaan film yang melibatkan para animator Jepang untuk memanipulasi framerate yang menyebabkan gambar diam menjadi bergerak dimana setiap 12 hingga 24 gambar (frame) mewakili satu detik dari pergerakan tersebut. Proses ini sama halnya seperti pengetahuan dasar animasi dan anime umumnya memiliki 12 fps (frame per second) dan hampir semuanya digambar dengan tangan (handdrawn). Meskipun dengan kemajuan teknologi memungkinkan animator mengerjakan animasi dalam anime dengan komputer dan dibantu dengan penerapan CG (computer grapfic) berbasis 3D, animator masih mengerjakan anime secara handdrawn yang memiliki estetikanya sendiri. Tiap era, anime memiliki identintitas artistik dan naratif yang berubah yang menjadi faktor pembeda anime pada tiap era. Karena itulah dalam studi kasus, penulis memilih dua film anime dan satu serial televisi anime yang menunjukan keragaman tersebut dan representasinya diantaranya yaitu : AKIRA (1988), Shin Seiki Evangelion (1995) dan Mono

Skripsi berjudul Sejarah Anime dan Representasinya sebagai Produk Fenomenal Budaya Populer (1988-2000) : Studi Kasus AKIRA, Mononoke No Hime & Shin Seiki Evangelion merupakan sebuah skripsi sejarah budaya yang mengambil topik pembahasan mengenai anime atau animasi Jepang pada batasan temporal yang bersangkutan. Skripsi ini oleh penulis ditujukan untuk membahas mengenai sejarah anime dan representasinya sebagai budaya populer serta dua film anime dan satu tayangan televisi anime sebagai studi kasus dari topik yang bersangkutan. Metode penelitain yang penulis gunakan mencakup heuristik, interpretasi dan kritik dan akhirnya historiografi. Anime merupakan produk budaya populer Jepang yang fenomenal disebabkan sudah memiliki pemirsanya sendiri di era 60-an, berkembang sebagai karya seni di era 70-an, mendapatkan sambutan luar biasa diseluruh dunia di era 80-an, sedikit berubah haluan di era 90-an bahkan terus berkembang hingga saat ini. Anime secara sederhana adalah animasi Jepang, dalam hal ini merupakan sebuah pekerjaan film yang melibatkan para animator Jepang untuk memanipulasi framerate yang menyebabkan gambar diam menjadi bergerak dimana setiap 12 hingga 24 gambar (frame) mewakili satu detik dari pergerakan tersebut. Proses ini sama halnya seperti pengetahuan dasar animasi dan anime umumnya memiliki 12 fps (frame per second) dan hampir semuanya digambar dengan tangan (handdrawn). Meskipun dengan kemajuan teknologi memungkinkan animator mengerjakan animasi dalam anime dengan komputer dan dibantu dengan penerapan CG (computer grapfic) berbasis 3D, animator masih mengerjakan anime secara handdrawn yang memiliki estetikanya sendiri. Tiap era, anime memiliki identintitas artistik dan naratif yang berubah yang menjadi faktor pembeda anime pada tiap era. Karena itulah dalam studi kasus, penulis memilih dua film anime dan satu serial televisi anime yang menunjukan keragaman tersebut dan representasinya diantaranya yaitu : AKIRA (1988), Shin Seiki Evangelion (1995) dan Mono

Skripsi berjudul Sejarah Anime dan Representasinya sebagai Produk Fenomenal Budaya Populer (1988-2000) : Studi Kasus AKIRA, Mononoke No Hime & Shin Seiki Evangelion merupakan sebuah skripsi sejarah budaya yang mengambil topik pembahasan mengenai anime atau animasi Jepang pada batasan temporal yang bersangkutan. Skripsi ini oleh penulis ditujukan untuk membahas mengenai sejarah anime dan representasinya sebagai budaya populer serta dua film anime dan satu tayangan televisi anime sebagai studi kasus dari topik yang bersangkutan. Metode penelitain yang penulis gunakan mencakup heuristik, interpretasi dan kritik dan akhirnya historiografi. Anime merupakan produk budaya populer Jepang yang fenomenal disebabkan sudah memiliki pemirsanya sendiri di era 60-an, berkembang sebagai karya seni di era 70-an, mendapatkan sambutan luar biasa diseluruh dunia di era 80-an, sedikit berubah haluan di era 90-an bahkan terus berkembang hingga saat ini. Anime secara sederhana adalah animasi Jepang, dalam hal ini merupakan sebuah pekerjaan film yang melibatkan para animator Jepang untuk memanipulasi framerate yang menyebabkan gambar diam menjadi bergerak dimana setiap 12 hingga 24 gambar (frame) mewakili satu detik dari pergerakan tersebut. Proses ini sama halnya seperti pengetahuan dasar animasi dan anime umumnya memiliki 12 fps (frame per second) dan hampir semuanya digambar dengan tangan (handdrawn). Meskipun dengan kemajuan teknologi memungkinkan animator mengerjakan animasi dalam anime dengan komputer dan dibantu dengan penerapan CG (computer grapfic) berbasis 3D, animator masih mengerjakan anime secara handdrawn yang memiliki estetikanya sendiri. Tiap era, anime memiliki identintitas artistik dan naratif yang berubah yang menjadi faktor pembeda anime pada tiap era. Karena itulah dalam studi kasus, penulis memilih dua film anime dan satu serial televisi anime yang menunjukan keragaman tersebut dan representasinya diantaranya yaitu : AKIRA (1988), Shin Seiki Evangelion (1995) dan Mono

Skripsi berjudul Sejarah Anime dan Representasinya sebagai Produk Fenomenal Budaya Populer (1988-2000) : Studi Kasus AKIRA, Mononoke No Hime & Shin Seiki Evangelion merupakan sebuah skripsi sejarah budaya yang mengambil topik pembahasan mengenai anime atau animasi Jepang pada batasan temporal yang bersangkutan. Skripsi ini oleh penulis ditujukan untuk membahas mengenai sejarah anime dan representasinya sebagai budaya populer serta dua film anime dan satu tayangan televisi anime sebagai studi kasus dari topik yang bersangkutan. Metode penelitain yang penulis gunakan mencakup heuristik, interpretasi dan kritik dan akhirnya historiografi. Anime merupakan produk budaya populer Jepang yang fenomenal disebabkan sudah memiliki pemirsanya sendiri di era 60-an, berkembang sebagai karya seni di era 70-an, mendapatkan sambutan luar biasa diseluruh dunia di era 80-an, sedikit berubah haluan di era 90-an bahkan terus berkembang hingga saat ini. Anime secara sederhana adalah animasi Jepang, dalam hal ini merupakan sebuah pekerjaan film yang melibatkan para animator Jepang untuk memanipulasi framerate yang menyebabkan gambar diam menjadi bergerak dimana setiap 12 hingga 24 gambar (frame) mewakili satu detik dari pergerakan tersebut. Proses ini sama halnya seperti pengetahuan dasar animasi dan anime umumnya memiliki 12 fps (frame per second) dan hampir semuanya digambar dengan tangan (handdrawn). Meskipun dengan kemajuan teknologi memungkinkan animator mengerjakan animasi dalam anime dengan komputer dan dibantu dengan penerapan CG (computer grapfic) berbasis 3D, animator masih mengerjakan anime secara handdrawn yang memiliki estetikanya sendiri. Tiap era, anime memiliki identintitas artistik dan naratif yang berubah yang menjadi faktor pembeda anime pada tiap era. Karena itulah dalam studi kasus, penulis memilih dua film anime dan satu serial televisi anime yang menunjukan keragaman tersebut dan representasinya diantaranya yaitu : AKIRA (1988), Shin Seiki Evangelion (1995) dan Mono

Skripsi berjudul Sejarah Anime dan Representasinya sebagai Produk Fenomenal Budaya Populer (1988-2000) : Studi Kasus AKIRA, Mononoke No Hime & Shin Seiki Evangelion merupakan sebuah skripsi sejarah budaya yang mengambil topik pembahasan mengenai anime atau animasi Jepang pada batasan temporal yang bersangkutan. Skripsi ini oleh penulis ditujukan untuk membahas mengenai sejarah anime dan representasinya sebagai budaya populer serta dua film anime dan satu tayangan televisi anime sebagai studi kasus dari topik yang bersangkutan. Metode penelitain yang penulis gunakan mencakup heuristik, interpretasi dan kritik dan akhirnya historiografi. Anime merupakan produk budaya populer Jepang yang fenomenal disebabkan sudah memiliki pemirsanya sendiri di era 60-an, berkembang sebagai karya seni di era 70-an, mendapatkan sambutan luar biasa diseluruh dunia di era 80-an, sedikit berubah haluan di era 90-an bahkan terus berkembang hingga saat ini. Anime secara sederhana adalah animasi Jepang, dalam hal ini merupakan sebuah pekerjaan film yang melibatkan para animator Jepang untuk memanipulasi framerate yang menyebabkan gambar diam menjadi bergerak dimana setiap 12 hingga 24 gambar (frame) mewakili satu detik dari pergerakan tersebut. Proses ini sama halnya seperti pengetahuan dasar animasi dan anime umumnya memiliki 12 fps (frame per second) dan hampir semuanya digambar dengan tangan (handdrawn). Meskipun dengan kemajuan teknologi memungkinkan animator mengerjakan animasi dalam anime dengan komputer dan dibantu dengan penerapan CG (computer grapfic) berbasis 3D, animator masih mengerjakan anime secara handdrawn yang memiliki estetikanya sendiri. Tiap era, anime memiliki identintitas artistik dan naratif yang berubah yang menjadi faktor pembeda anime pada tiap era. Karena itulah dalam studi kasus, penulis memilih dua film anime dan satu serial televisi anime yang menunjukan keragaman tersebut dan representasinya diantaranya yaitu : AKIRA (1988), Shin Seiki Evangelion (1995) dan Mono

In late 2019, a poetry-writing “walkshop” in Pretoria/Tshwane, South Africa, was organized in collaboration with two local arts organizations. In this chapter, the walkshop is contextualized within debates on flânerie in South African cities, and attention given to the benefits and limitations of positioning it as part of this aesthetic tradition. This includes recognizing that, unlike Benjamin’s flâneur, the wandering poet is not easily identifiable in—or readily applicable to—South African’s urban environs. Close-reading the 12 poems written during the “Imagineering Tshwane” walkshop does suggest, however, that the concept of the poet-flâneur in Pretoria/Tshwane has merit. This figure can expose the mechanisms of control which limit how people use the city, and the ways in which people can and do resist them. The walkshop therefore demonstrates how flânerie amongst other artistic interventions can broaden understandings of the city in ways unavailable to the developmental discourse most often used to theorize Pretoria/Tshwane.

Skripsi ini menganalisis dan membandingkan Robinson Crusoe (1719) karangan Daniel Defoe dan film adaptasinya The Wild Life (2016). Novel ini terkenal dengan cerita terdamparnya tokoh utama di sebuah pulau yang dinarasikan oleh Robinson Crusoe, sementara itu, film The Wild Life menghadirkan kembali cerita itu dari sudut pandang binatang. Fokus penelitian ini adalah perubahan elemen formal pada novel ke film adaptasinya. Setelah itu, skripsi ini mengurai elemen tambahan yang dipakai film adaptasi ini untuk menyampaikan cerita Robinson Crusoe dalam perspektif binatang. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori adaptasi, elemen dasar fiksi, dan mise-en-scene. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa elemen formal pada novel dihadirkan kembali oleh film dengan mengubah arahnya, seperti (1) perubahan sudut pandang orang pertama, dari Robinson Crusoe menjadi Mak, (2) karakterisasi Robinson Crusoe dari yang tidak simpatik terhadap binatang menjadi simpatik, (3) eksplorasi bagian terdampar di pulau pada novel oleh film, dan (4) menekankan tema kerjasama untuk bertahan hidup daripada bertahan hidup dengan upaya sendiri, mengubah arah tema hubungan manusia dengan alam yang eksploitatif menjadi saling menguntungkan, dan tema takdir tuhan tidak dihadirkan kembali oleh film ini. Selain itu, (5) binatang tidak lagi dihadirkan sebagai makhluk tidak berdaya dan (6) untuk menghadirkan cerita Robinson Crusoe, film adaptasi ini menambahkan beberapa elemen, seperti bentuk animal fantasy, konflik binatang, tema kolektivisme dan simpati terhadap binatang.

Taking as a touchstone A.L. Kennedy’s observation about the disproportionate impact of the short story compared to its size, this article explores the extent to which David Von Ancken’s adaptation of Tobias Wolff’s text finds, via montage and perspective, a cinematic analogue to the aesthetic form of the short story.

Skripsi ini menganalisis dan membandingkan Robinson Crusoe (1719) karangan Daniel Defoe dan film adaptasinya The Wild Life (2016). Novel ini terkenal dengan cerita terdamparnya tokoh utama di sebuah pulau yang dinarasikan oleh Robinson Crusoe, sementara itu, film The Wild Life menghadirkan kembali cerita itu dari sudut pandang binatang. Fokus penelitian ini adalah perubahan elemen formal pada novel ke film adaptasinya. Setelah itu, skripsi ini mengurai elemen tambahan yang dipakai film adaptasi ini untuk menyampaikan cerita Robinson Crusoe dalam perspektif binatang. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori adaptasi, elemen dasar fiksi, dan mise-en-scene. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa elemen formal pada novel dihadirkan kembali oleh film dengan mengubah arahnya, seperti (1) perubahan sudut pandang orang pertama, dari Robinson Crusoe menjadi Mak, (2) karakterisasi Robinson Crusoe dari yang tidak simpatik terhadap binatang menjadi simpatik, (3) eksplorasi bagian terdampar di pulau pada novel oleh film, dan (4) menekankan tema kerjasama untuk bertahan hidup daripada bertahan hidup dengan upaya sendiri, mengubah arah tema hubungan manusia dengan alam yang eksploitatif menjadi saling menguntungkan, dan tema takdir tuhan tidak dihadirkan kembali oleh film ini. Selain itu, (5) binatang tidak lagi dihadirkan sebagai makhluk tidak berdaya dan (6) untuk menghadirkan cerita Robinson Crusoe, film adaptasi ini menambahkan beberapa elemen, seperti bentuk animal fantasy, konflik binatang, tema kolektivisme dan simpati terhadap binatang.

Skripsi ini menganalisis dan membandingkan Robinson Crusoe (1719) karangan Daniel Defoe dan film adaptasinya The Wild Life (2016). Novel ini terkenal dengan cerita terdamparnya tokoh utama di sebuah pulau yang dinarasikan oleh Robinson Crusoe, sementara itu, film The Wild Life menghadirkan kembali cerita itu dari sudut pandang binatang. Fokus penelitian ini adalah perubahan elemen formal pada novel ke film adaptasinya. Setelah itu, skripsi ini mengurai elemen tambahan yang dipakai film adaptasi ini untuk menyampaikan cerita Robinson Crusoe dalam perspektif binatang. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori adaptasi, elemen dasar fiksi, dan mise-en-scene. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa elemen formal pada novel dihadirkan kembali oleh film dengan mengubah arahnya, seperti (1) perubahan sudut pandang orang pertama, dari Robinson Crusoe menjadi Mak, (2) karakterisasi Robinson Crusoe dari yang tidak simpatik terhadap binatang menjadi simpatik, (3) eksplorasi bagian terdampar di pulau pada novel oleh film, dan (4) menekankan tema kerjasama untuk bertahan hidup daripada bertahan hidup dengan upaya sendiri, mengubah arah tema hubungan manusia dengan alam yang eksploitatif menjadi saling menguntungkan, dan tema takdir tuhan tidak dihadirkan kembali oleh film ini. Selain itu, (5) binatang tidak lagi dihadirkan sebagai makhluk tidak berdaya dan (6) untuk menghadirkan cerita Robinson Crusoe, film adaptasi ini menambahkan beberapa elemen, seperti bentuk animal fantasy, konflik binatang, tema kolektivisme dan simpati terhadap binatang.

Skripsi ini menganalisis dan membandingkan Robinson Crusoe (1719) karangan Daniel Defoe dan film adaptasinya The Wild Life (2016). Novel ini terkenal dengan cerita terdamparnya tokoh utama di sebuah pulau yang dinarasikan oleh Robinson Crusoe, sementara itu, film The Wild Life menghadirkan kembali cerita itu dari sudut pandang binatang. Fokus penelitian ini adalah perubahan elemen formal pada novel ke film adaptasinya. Setelah itu, skripsi ini mengurai elemen tambahan yang dipakai film adaptasi ini untuk menyampaikan cerita Robinson Crusoe dalam perspektif binatang. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori adaptasi, elemen dasar fiksi, dan mise-en-scene. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa elemen formal pada novel dihadirkan kembali oleh film dengan mengubah arahnya, seperti (1) perubahan sudut pandang orang pertama, dari Robinson Crusoe menjadi Mak, (2) karakterisasi Robinson Crusoe dari yang tidak simpatik terhadap binatang menjadi simpatik, (3) eksplorasi bagian terdampar di pulau pada novel oleh film, dan (4) menekankan tema kerjasama untuk bertahan hidup daripada bertahan hidup dengan upaya sendiri, mengubah arah tema hubungan manusia dengan alam yang eksploitatif menjadi saling menguntungkan, dan tema takdir tuhan tidak dihadirkan kembali oleh film ini. Selain itu, (5) binatang tidak lagi dihadirkan sebagai makhluk tidak berdaya dan (6) untuk menghadirkan cerita Robinson Crusoe, film adaptasi ini menambahkan beberapa elemen, seperti bentuk animal fantasy, konflik binatang, tema kolektivisme dan simpati terhadap binatang.

This chapter discusses the multiple meanings of the notion of alienation, providing some essential coordinates for the understanding of such a slippery concept. This chapter proceeds by contextualizing what we call the “years of alienation” and explaining why we believe this is a particularly telling label for Italy’s sociopolitical and cultural situation between the so-called Economic Boom and the Years of Lead (1958–1980). In order to do so, we explore, on the one hand, the ideological debate on alienation understood in its sociopolitical connotations, which found in literature and cinema a privileged site of elaboration; and on the other hand, Franco Basaglia’s subversion of the field of psychiatric health care. In particular, we pay attention to the clinical and the political meanings that mental alienation took on in this context, and the influence this revolution in psychiatry had on literature, cinema, and popular music.

Originally intended to appeal to a metropolitan (and especially US) audience, El topo reached specialised audiences in international genre festivals and had a worldwide following in the contemporary context of psychotronic fandom over the last three decades. This chapter assesses the changing cult status of El Topo, and, by extension, Jodorowsky, and discusses how film cultures contribute to processes of cult canon-formation. Jodorowsky’s appeal cuts across different audiences and tastes. On the one hand, his films have propelled him into auteur status in genre festivals, while, on the other, his varied literary and artistic production has made of him an important creative force in the world of Hispanic culture. Jodorowsky’s is now right in the mainstream, appealing to middle-brow tastes.

In October 1989, a TV adaptation of Arthur Koestler’s novel Thieves in the Night (1946) was aired in three parts in Germany. The final script of the German-Israeli co-production was written by Wolfgang Storch who also directed the mini-series. An earlier version of the screenplay had been commissioned by the German TV and radio station NDR from the British Jewish playwright Arnold Wesker. Based on the copious archival material held by the Harry Ransom Center at the University of Texas in Austin which includes the original drafts of the author’s scripts and his correspondence relating to the project, this article explores Wesker’s involvement in the production from 1983 to 1985 and the eventual publication of an extract from the dramatist’s third draft in the Jewish Chronicle in 1986. Wesker’s screenplay was ultimately rejected because his conception of a “historical argument” was not compatible with the “cowboys and Indian version” which, in the dramatist’s words, was expected of him. It is argued that the increasingly acrimonious relationship between the screenwriter, the originally retained director François Villiers, and various producers originated not only in conflicting approaches to the commercial and artistic dimensions of the project but also in divergent perceptions of the position of Israel and its history and that it reveals different strategies of instrumentalising the literary text and its TV adaptation for an understanding of the present.

From 1983 to 1985 the British Jewish playwright Arnold Wesker worked on a film script for a German-Israeli TV adaptation of Arthur Koestler’s propagandistic novel Thieves in the Night (1946) which chronicles a decisive phase in the triangular conflict between Arabs, Jews, and the British during the British Mandate for Palestine. Ultimately, Wesker’s script was rejected, but in 1986 the dramatist published an excerpt in the Jewish Chronicle. Drawing on Wesker’s original drafts and his correspondence relating to the project, this article contextualises the publication of the so-called “Peace Making Scene” with the playwright’s approach to his adaptation of the novel as a whole. It is argued that Wesker’s main objectives were to preserve the integrity of the novel and to produce a “script of substance” that was to offer a historical argument rather than the “cowboys and Indian version” expected of him. In a comparative analysis of Wesker’s successive script versions, Koestler’s novel, and the TV adaptation as it was eventually broadcast on German television in 1989, it is moreover suggested that the playwright sought to achieve a more sympathetic representation of the Palestinian Arabs that was reversed in the final script by the director of the mini-series, Wolfgang Storch. It is argued that the various stages of the international co-production and the clash of the frequently quite acerbic individual voices of those involved in it reveal competing motivations as well as conflicting and shifting strategies of representing the history of Israel and the Middle East conflict.

In this essay, I take abstraction, a familiar term from discussions of experimental animation, and expand it via design theorist Johanna Drucker’s idea of performative digital materiality. In this way I explore digital images through their associations and connections with people, processes and cultural domains. First, I connect abstraction in animation to its usage in computer science, and then establish a link to performative digital materiality. Based on these connections, I draw comparisons between Where Shapes Come From (Semiconductor, 2016) and Category 4 Hurricane Matthew on October 2, 2016 (2017), a visualisation of Hurricane Matthew created by the Godard Science Visualization Studio. Both Where Shapes Come From and Category 4 Hurricane Matthew use data to drive the motion of their CG elements. Consequently, while concerned with events in physical environments, they rely on algorithms to facilitate motion and so have a digital materiality too. Though sharing a similar technique, their associations and connections each reveal different performative digital materialities. The algorithm facilitating motion in Category 4 Hurricane Matthew’s is linked to consensus building, whereas that used for Where Shapes Come From maintains the interrogative gap essential to the experimental animation’s engagement with scientific discourse.

'Coccolith' is an experimental film drama shot in the Ramsgate tunnels in Kent, UK. The site has long been a focus for local folklore, and central to a range of historical experiences in the maritime port city. Comprised of a railway tunnel constructed in 1863, a scenic railway tunnel built in 1936, and a network of air raid shelters dug in the late 1930s, this network of passageways extends over five kilometers under the city. The tunnels have a rich place in local mythology, offering filmmakers the building blocks of narrative. But what relationship does storytelling have to our immediate experience of a space that is empty and dilapidated, apparently stripped of its capacity to narrate? The film seeks to investigate how audiovisual practices might represent the experience of the tunnel architecture in a manner that challenges conventional forms of realism. For a ruin offers a challenge to the realist recreation of history that is inherent in its structure: it embodies not its original form, but instead the deterioration of that form; not a historical moment, but instead our inexorable distance from that moment. Exploring issues of sexuality and identity post-Brexit, the film departs from typical storytelling conventions, depicting an imaginary realm in which devised performances evoke the unique history and feel of this eerie environment. 'Coccolith' is currently being submitted to film festivals internationally. It is one of several outputs from a larger audiovisual practice-as-research project exploring the creative representation of derelict or ruined space and architecture. An article discussing the film’s fusing of filmic and sonic approaches to practice-as-research is forthcoming in the journal 'Media Practice & Education', a book chapter on the directing of performance in the film will be published next year, and the film’s sound compositions are shortly to be released. The film’s website provides further detail and contextualization: https://www.coccolith

Pementasab Lagu Kehilangan merupakan seni pertunjukan puisi,lagu dan teater yang dilaksanakan dalam rangka menyambut hari Kemerdekaan RI tahun 2015. Puisi-puisi yang didramatisasikan pada pertunjukan ini ditulis oleh Muhammad Ibrahim Ilyas. Grup Dayung-Dayung menjadi grup musik yang mengiringi dan mendukung pementasan :Lagu Kehilangan" ini.

Pementasab Lagu Kehilangan merupakan seni pertunjukan puisi,lagu dan teater yang dilaksanakan dalam rangka menyambut hari Kemerdekaan RI tahun 2015. Puisi-puisi yang didramatisasikan pada pertunjukan ini ditulis oleh Muhammad Ibrahim Ilyas. Grup Dayung-Dayung menjadi grup musik yang mengiringi dan mendukung pementasan :Lagu Kehilangan" ini.