Search

Media televisi tidak terlepas dari kegiatan jurnalistik dan kebutuhan berita, yang sifatnya cepat dan akurat. Sementara itu, wartawan, kontributor atau koresponden memiliki jumlah terbatas, khususnya di daerah seperti Banyumas dan Cilacap. Tuntutan target produksi berita oleh perusahaan media, menuntut wartawan, kontributor atau koresponden di daerah untuk melakukan terobosan dengan mengangkat stringer (asisten jurnalis) untuk membantu liputan berita. Dengan demikian, penelitian ini berupaya menganalisis kedudukan dan peran stringer dalam praktik jurnalisme televisi, termasuk kendala dalam praktik lapangan khususnya mengacu pada stringer di Wilayah Banyumas dan Cilacap. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme, dengan mengacu pada teori konstruksi realitas sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dan teori produksi berita. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, jenis penelitian bersifat deskriptif, di mana berupaya mengembangkan konsep dan menghimpun fakta. Penelitian ini memanfaatkan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Sumber primer mengacu pada hasil wawancara terhadap 5 stringer di Wilayah Banyumas dan Cilacap. Sumber sekunder mengacu pada hasil wawancara kepada 6 kontributor atau koresponden di Wilayah Banyumas dan Cilacap, dokumentasi peliputan, buku, artikel yang relevan, dan data lainnya. Hasil penelitian menyimpulkan kedudukan stringer tidak terlepas dari lemahnya penegak hukum pada Undang-undang Ketenagakerjaan. Stringer mengidentifikasi dirinya sebagai asisten wartawan dengan berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik. Stringer tidak dibekali kontrak kerja resmi dan tidak diakui keberadaannya oleh perusahaan media, sehingga kedudukannya sebagai asisten wartawan tidak mendapat jaminan kesehatan dan perlindungan hukum. Stringer diberi upah yang relatif rendah dan hanya bertanggungjawab kepada wartawan, kontributor, atau koresponden yang mempekerjakannya. Dalam tugasnya, stringer berperan melakukan liputan berita pada wilayah di

Media televisi tidak terlepas dari kegiatan jurnalistik dan kebutuhan berita, yang sifatnya cepat dan akurat. Sementara itu, wartawan, kontributor atau koresponden memiliki jumlah terbatas, khususnya di daerah seperti Banyumas dan Cilacap. Tuntutan target produksi berita oleh perusahaan media, menuntut wartawan, kontributor atau koresponden di daerah untuk melakukan terobosan dengan mengangkat stringer (asisten jurnalis) untuk membantu liputan berita. Dengan demikian, penelitian ini berupaya menganalisis kedudukan dan peran stringer dalam praktik jurnalisme televisi, termasuk kendala dalam praktik lapangan khususnya mengacu pada stringer di Wilayah Banyumas dan Cilacap. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme, dengan mengacu pada teori konstruksi realitas sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dan teori produksi berita. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, jenis penelitian bersifat deskriptif, di mana berupaya mengembangkan konsep dan menghimpun fakta. Penelitian ini memanfaatkan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Sumber primer mengacu pada hasil wawancara terhadap 5 stringer di Wilayah Banyumas dan Cilacap. Sumber sekunder mengacu pada hasil wawancara kepada 6 kontributor atau koresponden di Wilayah Banyumas dan Cilacap, dokumentasi peliputan, buku, artikel yang relevan, dan data lainnya. Hasil penelitian menyimpulkan kedudukan stringer tidak terlepas dari lemahnya penegak hukum pada Undang-undang Ketenagakerjaan. Stringer mengidentifikasi dirinya sebagai asisten wartawan dengan berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik. Stringer tidak dibekali kontrak kerja resmi dan tidak diakui keberadaannya oleh perusahaan media, sehingga kedudukannya sebagai asisten wartawan tidak mendapat jaminan kesehatan dan perlindungan hukum. Stringer diberi upah yang relatif rendah dan hanya bertanggungjawab kepada wartawan, kontributor, atau koresponden yang mempekerjakannya. Dalam tugasnya, stringer berperan melakukan liputan berita pada wilayah di

Media televisi tidak terlepas dari kegiatan jurnalistik dan kebutuhan berita, yang sifatnya cepat dan akurat. Sementara itu, wartawan, kontributor atau koresponden memiliki jumlah terbatas, khususnya di daerah seperti Banyumas dan Cilacap. Tuntutan target produksi berita oleh perusahaan media, menuntut wartawan, kontributor atau koresponden di daerah untuk melakukan terobosan dengan mengangkat stringer (asisten jurnalis) untuk membantu liputan berita. Dengan demikian, penelitian ini berupaya menganalisis kedudukan dan peran stringer dalam praktik jurnalisme televisi, termasuk kendala dalam praktik lapangan khususnya mengacu pada stringer di Wilayah Banyumas dan Cilacap. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme, dengan mengacu pada teori konstruksi realitas sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dan teori produksi berita. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, jenis penelitian bersifat deskriptif, di mana berupaya mengembangkan konsep dan menghimpun fakta. Penelitian ini memanfaatkan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Sumber primer mengacu pada hasil wawancara terhadap 5 stringer di Wilayah Banyumas dan Cilacap. Sumber sekunder mengacu pada hasil wawancara kepada 6 kontributor atau koresponden di Wilayah Banyumas dan Cilacap, dokumentasi peliputan, buku, artikel yang relevan, dan data lainnya. Hasil penelitian menyimpulkan kedudukan stringer tidak terlepas dari lemahnya penegak hukum pada Undang-undang Ketenagakerjaan. Stringer mengidentifikasi dirinya sebagai asisten wartawan dengan berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik. Stringer tidak dibekali kontrak kerja resmi dan tidak diakui keberadaannya oleh perusahaan media, sehingga kedudukannya sebagai asisten wartawan tidak mendapat jaminan kesehatan dan perlindungan hukum. Stringer diberi upah yang relatif rendah dan hanya bertanggungjawab kepada wartawan, kontributor, atau koresponden yang mempekerjakannya. Dalam tugasnya, stringer berperan melakukan liputan berita pada wilayah di

The aim of the study is to identify the importance of poster as a learning media that can be utilized in learning activities. It also aims to explore the learning outcomes of students who use poster as learning media. In Indonesia, high school students are not allowed to carry a mobile phone, while the school on the other hand, does not provide enough computers for all students. The school computer laboratory could only cater for students need interchangeably. Therefore, teachers in schools choose other media that they think are effective, such as poster media. The poster media was seemed very relevant and appropriate to improve the quality of learning and student achievement. This study involved both qualitative and quantitative research method through Four-D model (Define, Design, Development, and Dissemination) that used for the learning material development. The data was collected through interview with two experts and experimental research design among two groups of students. The qualitative data were analyzed and the experimental data was tested using T-test statistical analysis. The learning outcomes with poster as learning media showed the mean values of the control and experimental groups were, respectively, 60.97 and 85.86. It indicated the difference in learning outcomes of 24.89. The produced poster was also assessed by media experts and curriculum experts. This study recommended that poster is very feasible and relevant to be utilized as a form of learning media in improving quality of learning and engagement with students.